Selasa, 04 September 2012


Edisi April 2006

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan
Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk
Meningkatkan Produktivitasnya
(ULASAN)
A.Yani & B.P. Purwanto
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680
a_yanicirebon@yahoo.co.id.
(Diterima 25-08-2005; disetujui 10-03-2006)
ABSTRACT
Most of Holstein in Indonesia were imported from European countries which have
temperate climate (13-25oC). If those Holstein were kept under high temperature and high
humidity and exposed to direct solar radiation, the cattles would be experienced with heat
stress, resulted in decreasing appetite, increased water intake, decreased metabolism,
increased catabolism, increased heat loss through evaporation, decreased hormone
concentration in blood, increased body temperature, increased respiration and heart rate
and behavioral changes. To reduce the heat stress can be achieved by environment
modification, such as type of animal house construction, type of roof material selected for
animal house and determination of animal housing height. The improvement of
environmental condition was gained for maintaining the animal heat balance in steady
state, due to reducing the thermoregulatory responses (i.e heart rate, respiration rate and
mean body temperature). Controlling the heat stressed animals to lower thermoregulatory
activities will improve their productivity.
Key words : Holstein, physiological responses, heat stress, micro-climate, environmental
modification
PENDAHULUAN
Penampilan produksi ternak dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain faktor
keturunan (genetic), pakan, pengelolaan,
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan
penyakit serta faktor lingkungan lainnya. Salah
satu faktor lingkungan yang cukup dominan
dalam mempengaruhi produktivitas ternak
adalah iklim mikro. Iklim mikro di suatu tempat
yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak
membuat potensi genetik seekor ternak tidak
dapat ditampilkan secara optimal.
Ada empat unsur iklim mikro yang dapat
mempengaruhi produktivitas ternak secara
langsung yaitu : suhu, kelembaban udara, radiasi
dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur
lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan
mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak
langsung. Interaksi keempat unsur iklim mikro
35
Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 Vol. 29 No. 1
ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No:56/DIKTI/Kep/2005
Edisi April 2006
tersebut dapat menghasilkan suatu indeks
dengan pengaruh yang berbeda terhadap ternak.
Berdasarkan hasil pendataan, sebagian
besar sapi-sapi perah yang ada di Indonesia
adalah sapi bangsa Fries Holland (FH) yang
didatangkan dari negara-negara Eropa yang
memiliki iklim sedang (temperate) dengan
kisaran suhu termonetral rendah (13 – 25oC).
Berdasarkan kondisi iklim asal tersebut, sapi
perah FH sangat peka terhadap perubahan suhu
tinggi. Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi
yang memiliki suhu tinggi, maka sapi-sapi
tersebut akan mengalami cekaman panas terus
menerus yang berakibat pada menurunnya
produktivitas sapi FH. Cekaman panas yang
diterima oleh sapi FH sebenarnya dapat
direduksi oleh angin dengan kecepatan tertentu.
Usaha lain yang perlu dilakukan untuk
mereduksi cekaman panas sapi FH adalah
modifikasi lingkungan ternak melalui
pemberian naungan, pemilihan bahan atap dan
pengaturan ketinggian kandang. Tulisan ini
berisi ulasan hasil-hasil penelitian mengenai
“Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Respons
Fisiologis Sapi FH serta Modifikasi Lingkungan
sebagai Upaya Mempertahankan Produktivitas
Sapi FH”.
PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP
RESPONS FISIOLOGIS SAPI
PERANAKAN FRIES
HOLLAND (FH)
Besarnya penambahan panas yang berasal
dari radiasi matahari di daerah tropis dapat
mencapai empat kali lebih besar dari produksi
panas hasil metabolisme (Thwaites, 1985).
Besarnya penambahan panas ini tergantung
pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran
tubuh seekor ternak, akan mendapatkan
penambahan panas yang lebih tinggi dari ternak
yang lebih besar ukuran tubuhnya, seperti
domba vs sapi.
Perolehan panas dari luar tubuh (heat
gain) akan menambah beban panas bagi ternak,
bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman.
Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh
(heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari
suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas
tubuh ternak dapat terjadi secara sensible
melalui mekanisme radiasi, konduksi dan
konveksi. Jalur utama pelepasan panas melalui
mekanisme evaporative heat loss dengan jalan
melakukan pertukaran panas melalui
permukaan kulit (sweating) atau melalui
pertukaran panas di sepanjang saluran
pernapasan (panting) (Purwanto, 1993) dan
sebagian melalui feses dan urin (McDowell,
1972). Unsur iklim mikro yang dapat
mempengaruhi produksi panas dan pelepasan
panas pada sapi FH adalah suhu dan
kelembaban udara, radiasi matahari dan
kecepatan angin.
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu dan kelembaban udara merupakan
dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi
sapi perah, karena dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan panas dalam tubuh
ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi
dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay,
1982). McDowell (1974) menyatakan bahwa
untuk kehidupan dan produksinya, ternak
memerlukan suhu lingkungan yang optimum.
Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa
berkisar 13 – 18oC (McDowell, 1972); 4 – 25oC
(Yousef, 1985), 5 – 25oC (Jones & Stallings,
1999). Hubungan besaran suhu dan kelembaban
udara atau biasa disebut “Temperature Humidity
Index (THI)” yang dapat mempengaruhi tingkat
stres sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Sapi FH menunjukkan penampilan
produksi terbaik apabila ditempatkan pada suhu
lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55%.
Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan
melakukan penyesuaian secara fisiologis dan
secara tingkah laku (behaviour). Usaha
peternakan sapi FH di Indonesia, pada
umumnya dilakukan pada daerah yang memiliki
36
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Edisi April 2006
ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan
laut, dengan tujuan untuk penyesuaian
lingkungan.
Suhu udara dan kelembaban harian di
Indonesia umumnya tinggi, yaitu berkisar antara
24 – 34oC dan kelembaban 60 - 90%. Hal
tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat
produktivitas sapi FH. Pada suhu dan
kelembaban tersebut, proses penguapan dari
tubuh sapi FH akan terhambat sehingga
mengalami cekaman panas. Pengaruh yang
timbul pada sapi FH akibat cekaman panas
adalah : 1) penurunan nafsu makan; 2)
peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan
metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4)
peningkatan pelepasan panas melalui
penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon
dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh,
respirasi dan denyut jantung (McDowell, 1972);
dan 7) perubahan tingkah laku (Ingram &
Dauncey, 1985), meningkatnya intensitas
berteduh sapi (Combs, 1996). Respons fisiologis
sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada
Tabel 2.
Pada malam hari, suhu rektal akan terus
mengalami penurunan, sedangkan pada pagi
sampai sore suhu rektal mengalami kenaikan.
Perubahan denyut jantung dan frekuensi
pernapasan sapi FH dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Denyut jantung sapi FH yang sehat
pada daerah nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah
60 – 70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 –
30 kali/menit (Ensminger, 1971). Perubahan
denyut jantung dan fekuensi pernapasan sapi FH
(tiga ekor sapi dara peranakan FH dengan bobot
rata-rata 195 kg) di Darmaga dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2 dengan kondisi suhu
pengamatan pada Gambar 3 (Prayitno, 1999).
Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu
yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut
jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi
untuk mengurangi atau melepaskan panas yang
diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan
denyut jantung merupakan respons dari tubuh
ternak untuk menyebarkan panas yang diterima
ke dalam organ-organ yang lebih dingin.
Pernapasan merupakan respons tubuh ternak
untuk membuang atau mengganti panas dengan
udara di sekitarnya. Jika kedua respon tersebut
tidak berhasil mengurangi tambahan panas dari
luar tubuh ternak, maka suhu organ tubuh ternak
akan meningkat sehingga ternak mengalami
cekaman panas (Anderson, 1983). Cekaman
panas yang terus berlangsung pada ternak akan
Tabel 1. Indeks suhu dan kelembaban relatif untuk sapi perah
Sumber : Wierama (1990)
Kelembaban relatif (%)
0C 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
23,39 72 72 73 73 74 74 75 75
26,67 72 72 73 73 74 74 75 76 76 77 78 78 79 79 80
29,44 72 72 73 74 75 75 76 77 78 78 79 80 81 81 82 83 84 84 85
32,22 72 73 74 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84 85 86 86 87 88 89 90
35,00 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
37,78 77 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 98 99
40,56 79 80 82 83 84 86 87 88 89 91 92 93 95 96 97
43,33 81 83 84 86 87 89 90 91 93 94 96 97 Stres Ringan
46,11 84 85 87 88 90 91 93 95 96 97 Stres Sedang
48,89 88 88 89 91 93 94 96 98 Stres Berat
37
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
berdampak pada peningkatan konsumsi air
minum, penurunan produksi susu, peningkatan
volume urine, dan penurunan konsumsi pakan
(Tabel 3). Cekaman panas dapat direduksi
dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui
penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan
tubuh (Shibata, 1996). Hasil simulasi
menunjukkan bahwa penurunan suhu
lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5oC
dapat meningkatkan produksi susu sapi FH
sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi
45 kg/hari (Berman, 2005).
Tabel 2. Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH
Suhu lingkungan
Parameter Sumber
Netral Cekaman
Suhu rektal (oC) 1
2
38,7
38,8
40,0
39,8
Denyut jantung (kali per menit) 1
2
77,0
64,0
79,0
67,0
Pernapasan (kali per menit) 1
2
48,0
31,0
87,0
75,0
Gambar 1. Pola frekuensi pernafasan pada kondisi lingkungan kontrol (♦), lingkungan B (■) dan
lingkungan C (▲)
Keterangan:
Lingkungan kontrol = Pada siang hari tanpa pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan,
Lingkungan B = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak dikeluarkan,
Lingkungan C = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan.
Waktu pengamatan (Pukul)
Frekuensi pernapasan (kali/menit)
38
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Edisi April 2006 39
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Keterangan:
Lingkungan kontrol = Pada siang hari tanpa pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan,
Lingkungan B = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak dikeluarkan,
Lingkungan C = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan.
Gambar 3. Suhu lingkungan pengamatan di dalam (♦) dan di luar (■) kandang
Gambar 2. Pola denyut jantung pada kondisi lingkungan kontrol (♦), lingkungan B (■) dan lingkungan
C (▲)
Waktu pengamatan (Pukul)
Edisi April 2006
Radiasi Matahari
Radiasi adalah pemindahan panas suatu
benda ke benda lain tanpa bersentuhan. Arus
panas radiasi mengalir tanpa bantuan bahan
pengantar atau media dan dapat melewati ruang
hampa udara (Curtis, 1983; Blaxter, 1989).
Radiasi matahari secara langsung terhadap sapi
FH mengakibatkan sapi FH tidak nyaman,
sehingga menimbulkan efek negatif terutama
pada siang hari. Usaha yang umum dilakukan
oleh peternak dalam mengurangi efek negatif
radiasi langsung ini adalah dengan memberikan
naungan.
Sapi FH di daerah Darmaga, Bogor, mulai
mencari tempat berteduh pada saat radiasi
matahari di atas 450 kkal/m2/jam. Pada kondisi
ini sapi FH sudah mengalami cekaman panas,
sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu
tubuhnya, ternak tersebut mencari naungan.
Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari
bisa mencapai 77,38% (Rizki, 1996). Kondisi
ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan
mengalami cekaman panas maksimal dari
radiasi matahari pada pukul 13.00 – 14.00
dimana pada waktu tersebut nilai intensitas
radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/
jam.
Kondisi cekaman panas akibat radiasi
matahari terhadap sapi FH juga dipengaruhi
oleh warna kulitnya. Yeates (1977) mengatakan
bahwa ternak dengan bulu yang pendek dengan
warna terang serta memiliki tekstur kulit yang
halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk
mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi
matahari. Sapi FH memiliki warna kulit hitam
dan putih, umumnya warna putih lebih dominan
dari warna hitam atau sebaliknya. Dominannya
warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan
pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan
lebih kecil (warna putih menyerap 20%
pancaran radiasi sinar matahari, dan warna
hitam bisa mencapai 98%). Cekaman panas sapi
FH akibat radiasi matahari langsung
menyebabkan respon fisiologisnya lebih tinggi
dari sapi FH yang ternaungi (Tabel 4).
Kecepatan Angin
Angin dapat digunakan untuk mereduksi
cekaman panas pada ternak (Beede and Coolier,
1986). Penggunaan kipas angin berdiameter 1,2
m dan penyemprotan air 18 liter per ekor per
hari di Amerika dapat menurunkan temperatur
tubuh sapi FH sebesar 1,7oC dan meningkatkan
produksi susu sebesar 0,79 kg per hari (Wiersma
et al., 1984). Pemberian kecepatan angin
tertentu disertai dengan pengabutan melalui
sprinkler tiap 5 - 15 menit pada daerah panas
dapat meningkatkan kenyamanan sapi dan
mempermudah pemerahan (Chestnut &
Houston, 2002). Pemberian kecepatan angin
melalui terowongan angin yang dibuat dalam
kandang dapat menurunkan suhu (4,2oC) dan
Tabel 3. Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan sapi FH pada suhu berbeda
Sumber : McDowell (1972)
40
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Suhu
Parameter
18oC 30oC
Produksi susu (kg/hari) 18,4 15,7
Volume urine 11,2 12,8
Konsumsi air minum (kg/hari) 57,9 74,7
Konsumsi konsentrat (kg/hari) 9,7 9,2
Konsumsi hay (kg/hari) 5,8 4,5
Edisi April 2006
THI (6,0) serta meningkatkan RH (26%) dalam
kandang (Smith et al., 2005). Daerah Darmaga
Bogor dengan ketinggian 250 m di atas
permukaan laut memiliki kecepatan angin yang
berfluktuasi menurut waktu tergantung kondisi
iklim mikro dan makro. Rata-rata kecepatan
angin harian pada bulan April – Juni tahun 2000
di Darmaga dapat dilihat pada Gambar 4.
Jika dilihat dari fluktuasi kecepatan angin
pada gambar di atas, kecepatan angin meningkat
seiring dengan meningkatnya suhu udara dan
radiasi matahari. Sementara di sisi lain tubuh
sapi FH memerlukan kecepatan angin yang
lebih untuk mereduksi cekaman panasnya,
sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang
hari pada kondisi udara cerah tidak banyak
berpengaruh terhadap penurunan cekaman
panas tubuh sapi FH.
Penambahan kecepatan angin akan
membantu sapi FH menurunkan cekaman panas
pada saat malam hari karena pada malam hari
metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk
mempertahankan suhu tubuh (Lee & Keala,
2005). Penambahan kecepatan angin (1,125 m/
det) dapat mengoptimalkan kerja metabolisme
sapi FH sehingga ternak tersebut merasa
nyaman. Hadi (1995) menyampaikan hasil
pengamatan adanya perubahan suhu rektal, suhu
kulit, suhu tubuh dan frekuensi pernafasan pada
sapi FH akibat pemberian kecepatan angin
(1,125 m/det) yang dilakukan pada siang hari
(pukul 11.00 – 13.00 WIB) dan malam hari
(pukul 19.00–21.00 WIB) (Tabel 5).
Pengamatan dilakukan di Laboratorium
Lapangan Ilmu Produksi Ternak Perah IPB pada
Bulan Desember 1994 sampai Bulan Januari
1995 dengan suhu minimum dan maksimum
masing-masing 24,0oC dan 30,5oC, kelembaban
udara 61% - 84% dan kecepatan angin 0,0625
– 0,35 m/det. Sapi FH yang digunakan sebanyak
4 ekor dengan bobot badan 180 – 220 kg.
Hijauan diberikan sebanyak 10 kg/ekor/hari,
konsentrat diberikan sesuai bobot badannya
dengan pemberian pakan 2 kali sehari (pukul
08.00 dan 17.00 WIB) dan air minum ad libitum.
MODIFIKASI LINGKUNGAN TERNAK
UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS
Modifikasi lingkungan merupakan usaha
yang dilakukan oleh peternak dalam manajemen
ternak sapi FH untuk mengurangi cekaman
panas akibat suhu udara, kelembaban dan radiasi
matahari. Modifikasi lingkungan dapat
dilakukan melalui pemberian naungan,
penggunaan air minum dingin, penyemprotan
air ke tubuh ternak, pemberian kecepatan angin
tertentu kepada ternak, pemilihan bahan atap
kandang, penentuan ketinggian atap kandang
yang tepat.
Pemberian Air Minum Dingin
Konsumsi air minum sapi perah dewasa
pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 – 3,5
Tabel 4. Respon fisiologis sapi FH akibat radiasi matahari di Darmaga Bogor
Parameter Jemur Naungan
Repirasi (hit/menit) 147,00 68,00
Jantung (hit/menit) 91,00 76,00
Suhu rektal (oC) 40,48 38,82
Suhu kulit (oC) 39,68 37,13
Suhu tubuh (oC) 40,37 38,58
Sumber : Rizki (1996)
41
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
9.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Intensitas lama bernaung (menit)
Waktu pengamatan
Kecepatan angin (m/det)
9.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Gambar 4. Rata-rata kecepatan angin harian bulan April – Juni tahun 2000 dan intensitas lama bernaung
sapi FH di Darmaga (Suwito, 2000)
Sumber : Hadi (1995)
42
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Tabel 5. Rataan suhu rektal (RT), suhu kulit (mTs), suhu tubuh (Tb) dan frekuensi pernafasan
(RR) sapi FH akibat pemberian kecepatan angin 1,125 m/det pada siang dan malam hari
di Darmaga Bogor
Waktu pemberian angin
Parameter
Siang hari Malam hari
Sebelum perlakuan
RT (oC) 39,05 ± 0,12 39,07 ± 0,11
mTs (oC) 35,64 ± 0,66 35,50 ± 0,43
Tb (oC) 38,57 ± 0,14 38,57 ± 0,14
RR (kali/menit) 40,00 ± 3,34 40,00 ± 5,36
Dua jam setelah perlakuan
RT (oC) 38,80 ± 0,12 38,60 ± 0,10
mTs (oC) 35,40 ± 1,03 35,58 ± 0,01
Tb (oC) 38,32 ± 0,29 38,18 ± 0,08
RR (kali/menit) 25,00 ± 11,50 22,00 ± 0,00
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
9.00~10.00 10.00~11.00 11.00~12.00 12.00~13.00 13.00~14.00 14.00~15.00 15.00~16.00
Kecepatan Angin (m/det)
0
10
20
30
40
50
9.00~10.00 10.00~11.00 11.00~12.00 12.00~13.00 13.00~14.00 14.00~15.00 15.00~16.00
Waktu Pengamatan
Intensitas Lama Bernaung (Menit)
Edisi April 2006
liter/kilogram konsumsi bahan kering (Tillman
et al., 1989) dan akan meningkat dalam kondisi
cekaman panas. Pada kondisi lingkungan tidak
nyaman dengan suhu lingkungan malam hari
sekitar 24oC dan siang hari 33,34oC, sapi dara
mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 –
12,76% dari bobot badan (Santoso, 1996).
Manfaat air minum dingin untuk mengatasi
cekaman panas pada sapi dara FH dapat dilihat
pada Tabel 6.
Milam et al. (1986) melaporkan bahwa
pemberian air minum dingin dapat
meningkatkan produksi susu sapi Holstein
sebesar 10,86% dari 22,1 pada air minum 28oC
menjadi 24,5 kg pada air minum 10oC. Wilks et
al. (1990) juga melaporkan terjadinya kenaikan
produksi susu sapi Holstein sebesar 4,85% dari
24,7 pada air minum 27oC menjadi 25,9 pada
air minum 10,6oC. Qisthon (1999) melaporkan
bahwa pemberian air minum pada suhu 10oC
dapat memperbaiki produktivitas sapi dara FH
melalui pertambahan bobot badan dan efisiensi
pakan, meningkatkan kecernaan bahan kering
dan bahan organik pakan dibandingkan dengan
pemberian air minum pada suhu 16, 22 dan 28oC.
Naungan
Pemberian naungan seperti kandang, dapat
mengurangi cekaman panas tubuh sapi FH
terutama pada siang hari. Total pengurangan
panas tubuh ternak dengan naungan dapat
mencapai 30-50% (Roman-Ponce et al., 1977).
Cara ternak sapi FH dalam mencari naungan
sangat tergantung dari iklim mikro seperti
radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan
kecepatan angin.
Pola intensitas lama bernaung sapi FH
meningkat dari pagi sampai siang hari (sampai
pukul 13.00) kemudian menurun kembali pada
sore harinya. Pola intensitas lama bernaung ratarata
untuk 3 (tiga) sapi dara FH dengan bobot
badan rata-rata 195 kg pada umur ± 18 bulan di
Darmaga dapat dilihat pada Gambar 4.
Lama bernaung sapi dipengaruhi oleh
suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan
angin. Semakin tinggi suhu udara lingkungan,
sapi akan bernaung lebih lama sebagai upaya
untuk mempertahankan panas tubuhnya agar
tidak naik akibat cekaman panas dari suhu
lingkungan. Semakin tinggi kelembaban udara
dan radiasi matahari di sekitar sapi maka sapi
akan bernaung lebih lama dengan intensitas
yang semakin rendah. Semakin tinggi kecepatan
angin maka sapi FH akan mengurangi intensitas
lama bernaungnya karena angin dapat
mereduksi panas tubuh sapi FH.
Pemilihan Bahan Atap Kandang
Semua bahan akan memantulkan,
meneruskan dan menyerap radiasi gelombang
Sumber : Purwanto et al. (1996)
Suhu air minum (oC)
Peubah
10 20 30
Suhu rektal (oC) 38,7 38,9 39,2
Suhu kulit (oC) 36,3 36,8 37,1
Suhu tubuh (oC) 38,4 38,7 38,9
Frekuensi pernafasan (kali/menit) 26,0 40,0 47,0
Frekuensi denyut jantung (kali/menit) 74,0 76,0 78,0
Tabel 6. Pengaruh pendinginan air minum pada respons fisiologis sapi dara Holstein pada suhu
lingkungan 34oC
43
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
pendek dan gelombang panjang dengan proporsi
yang berbeda-beda tergantung pada jenis
bahannya. Perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan suhu absolute bahan, sifat fisik dan
kimiawi bahan serta daya hantar energi panas
(bahang) dan panjang gelombang radiasi
matahari. Oleh karena itu bahan atap kandang
sapi FH yang dipilih adalah bahan-bahan yang
mampu memantulkan dan menyerap radiasi
sehingga dapat mengurangi penghantaran panas
ke dalam kandang.
Radiasi matahari yang diabsorbsi oleh
bahan akan diubah menjadi bahang, kemudian
dihantar ke bagian yang lebih dingin atau
dipancarkan kembali sebagai radiasi gelombang
panjang. Kemampuan menghantar bahang
(konduktivitas) masing-masing bahan dari yang
terendah sampai yang tinggi berturut-turut
adalah asbes, beton, baja, seng, alumunium
(Charles, 1981). Bahan yang tipis seperti
kebanyakan logam memiliki koefisien konduksi
yang besar, sehingga suhu di atas dan di bawah
hampir sama. Hahn (1985) menyatakan bahwa
bahan atap rumput kering atau jerami paling
efektif menahan radiasi matahari yang terpancar
langsung, sedangkan bahan padat seperti asbes,
besi berlapis seng atau alumunium kurang
efektif kecuali kalau dicat putih. Bahan lainnya
yang efektif menahan radiasi matahari adalah
alang-alang dan daun kelapa. Kedua bahan ini
memiliki nilai konduktivitas rendah. Rumbia
memiliki nilai konduktivitas 0.0001 kal/detoC.
Rendahnya nilai konduktivitas bahan atap
kandang menunjukkan rendahnya kemampuan
bahan dalam menghantarkan radiasi panas yang
diserapnya, sehingga sangat baik untuk
mengurangi jumlah radiasi yang sampai ke
ternak. Gatenby & Martawijaya (1986)
menyatakan, suhu di dalam kandang yang
atapnya terbuat dari asbes, seng dan rumbia
berturut-turut 26,5; 27,0 dan 26,4oC.
Respon fisiologis sapi perah FH sangat
baik terhadap bahan atap kandang rumbia
dibandingkan dengan genteng dan seng.
Respons fisiologis ini dapat dilihat dari suhu
tubuh, suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung
dan frekuensi nafas yang lebih rendah pada sapi
FH yang diberi atap rumbia dibandingkan
dengan yang diberi atap seng atau genteng
(Soemarto, 1995).
Penentuan Ketinggian Kandang
Selain memilih bahan atap yang
berkonduktivitas rendah, usaha lain yang
ditempuh untuk modifikasi lingkungan mikro
di dalam kandang adalah dengan memperbesar
ukuran kandang. Salah satunya adalah dengan
meninggikan atap kandang, sehingga volume
udara dan aliran udara yang masuk ke dalam
kandang menjadi lebih besar dan pergantian
udara lebih cepat sehingga suhu dalam kandang
menurun (Carpenter, 1981).
Daerah-daerah yang cerah dengan sinar
matahari penuh, tinggi atap kandang sebaiknya
antara 3,6 – 4,2 m, sedangkan daerah agak
berawan tinggi atap kandang antara 2,1 – 2,7
m. Ketinggian kandang tersebut cukup efektif
membatasi difusi radiasi matahari yang diterima
ternak di dalam kandang (Hahn, 1985).
Ketinggian atap kandang untuk daerah tropis
basah berkisar antara 2 – 3 m dan untuk daerah
beriklim panas kering antara 4–5 m (McDowell,
1972), serta antara 3 – 4 m untuk daerah semi
arid (Wiersma et al., 1984). Ketinggian atap
kandang sapi FH untuk daerah panas dengan
curah hujan sedang sampai curah hujan tinggi
adalah 175 cm yang diukur dari sisi atap
terendah ke lantai kandang (Sastry & Thomas
1980).
Perbedaan ketinggian atap kandang sangat
mempengaruhi respons fisiologis sapi perah dan
produksi susu yang dihasilkan. Respons
fisiologis yang berubah antara lain suhu kulit,
suhu rektal, suhu tubuh, frekuensi pernafasan
dan denyut jantung. Sedangkan respons
produksi yang berubah yaitu konsumsi makan
dan minum, serta pertambahan bobot badan
(Santoso, 1996). Ketinggian atap kandang yang
terbuat dari seng sebaiknya 3,5 m dari lantai
kandang (Basyarah, 1995).
44
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Edisi April 2006
PENUTUP
Penampilan produksi ternak dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain faktor
keturunan (genetic), pakan, pengelolaan,
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan
penyakit serta faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang cukup dominan dalam
mempengaruhi produktivitas ternak adalah
iklim terutama iklim mikro yaitu suhu,
kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin.
Sapi perah FH sebagai sapi yang berasal dari
iklim sedang memerlukan suhu yang optimum
untuk mencapai produksi maksimalnya.
Jika sapi FH tersebut dipelihara di daerah tropis
seperti Darmaga Bogor, maka diperlukan
modifikasi lingkungan mikro yang baik untuk
dapat mereduksi cekaman panas agar
produktivitasnya tetap tinggi.
Modifikasi lingkungan mikro dapat
dilakukan dengan pemberian naungan dalam
bentuk atap kandang dengan ketinggian yang
tepat, pemberian shelter di sekitar bangunan
ternak, pemberian air minum dingin, pemberian
kecepatan angin dengan pemasangan kipas,
pengabutan melalui sprinkler di dalam kandang,
pemberian isulator di bagian atap kandang.
Modifikasi lingkungan mikro di atas
memerlukan biaya yang tidak murah sehingga
memerlukan alternatif modifikasi lingkungan
dengan cara penggunaan bahan kandang (atap,
dinding, tiang) dan teknologi yang lebih murah.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. E. 1983. Temperature Regulation and
Environmental Physiology. In: Dukes’
Physiology of Domestic Animal. 10th ed. M.
J. Swenson (Ed). Cornell Univ. Press. P. 719-
726.
Basyarah, W. 1995. Pengaruh Ketinggian Naungan
dari Bahan Seng terhadap Respons
Termoregulasi Sapi Fries Holland Dara.
Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Beede, D.K. &. R.J. Coolier. 1986. Potential
nutricions for intensive managed cattle during
thermal stress. J. Anim Sci. 62: 543.
Berman, A. 2005. Estimates of heat stress relief needs
for Holstein dairy cows. J.Anim Sci. Vol 83 :
1377 – 1384. http://jas.fass.org/cgi/content/
abstract/83/6/1377. [24 Oktober 2005]
Blaxter, K. 1989. Energy Metabolism in Animal and
Man. Cambridge Univ. Press., New York.
Carpenter, G. A. 1981. Ventilation System. In:
Environmental Aspect of Housing for Animal
Production. J.A. Clark (Ed). Butterwoths,
London.p.331-350.
Charles, D.R. 1981. Practical Ventilation and
Temperature Control for Poultry. In: J.A. Clark
(Ed). Environmental Aspects of Housing for
Animal Production. Butterworths, London. P.
163 – 196.
Chestnut, A. & D. Houston. 2002. Heat Stress and
Cooling Cows. http://www.vigortone.com/
heat_stress.htm [ 21 Oktober 2005 ].
Combs, D. 1996. Drinking water requirement for heat
stressed dairy cattle. Univ. of Wisconsin Dairy
Profit Report Vol 8. No.3 http://www.wise.edu/
dairy-profit/dpr/dpr83.pdf. [21 Oktober
2005].
Curtis, S.E. 1983. Environmental Management In
Animal Agricultural. The Iowa State University
Press., Ames, Iowa.
Ensminger, M.E. 1971. Dairy Cattle Science. The
Interstate Printers and Publisher. Inc. Danville,
Illinois.
Esmay, M. L. 1982. Principle of Animal
environmental. AVI Publishing Company, Inc.
Wesport, Connecticut.
Gatenby, R.M. & M. Martawidjaja. 1986.
Comparison of the Thermal Budgets of Five
Different Roof of Animal House. Applied
Agric. Res. Project and Res. Institut for Animal
Production, Bogor, Indonesia.
Hadi, J.S. 1995. Pengaruh Kecepatan Angin terhadap
Respons Termoregulasi Sapi Fries Holland
Dara. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Hahn, G.L. 1985. Management and Housing of Farm
Animal in Hot Environment. In : Stress
Physiology of Livestock. Vol. 1. M.K. Yousef
(Ed). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.
159-168.
Ingram, D.L. & M.J. Dauncey. 1985.
Thermoregulatory Behavior. In: Stress
Physiology of Livestock. Vol. 1. Yousef (Ed),.
CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.98-107.
Jones, G.M. & C.C. Stallings. 1999. Reducing heat
stress for dairy cattle. Virginia Cooperative
Extension. Publication Number 404-200. http:/
/www.ext.vt.edu/index.html. [21 Oktober
2005].
45
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
Kibler, H.H. 1962. Energy metabolism and related
thermoregulatory reactions to thermal stress
in 10OC and 27OC acclimated heifers. Res.
Bull.739. Univ.of Missouri, Columbia. P.1-32.
Lee, C.N. & N. Keala. 2005. Evaluation of cooling
system to improve lactating Holstein cows
comfort in the sub-tropics. http://
www.fass.org. [1 Maret 2006].
McDowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock
Production in Warm Climate. W.H. Freeman
and Co., San Frascisco.p.1-128.
McDowell, R.E. 1974. The Environment Versus
Man and His Animals. In: H.H. Cole & M.
Ronning (Eds.). Animal Agriculture. W.H.
Freeman and Co., San Fransisco.
Milam, K.Z., C.E.Coppock, J.W.West, J.K.
Lanham, D.H. Nave, J.M. Labore, R.A.
Stermer & C.F.Brasington. 1986. Effect of
drinking water temperature on production
responses in lactacing cows in summer. J.Dairy
Sci. 69:1012 -1019.
Prayitno, H. 1999. Respons Termoregulasi Sapi
Peranakan Fries Holland pada Berbagai
Kondisi Lingkungan Mikro. Skripsi. Fakultas
Peternakan, IPB, Bogor.
Purwanto, B.P. 1993. Heat and Energy Balance in
Dairy Cattle Under High Environmental
Temperatute. Doctoral Thesis, Hiroshima
University.
Purwanto, B.P., M. Harada & S. Yamamoto. 1996.
Effect of drinking water temperature on heat
balance and thermoregulatory responses in
dairy heifers. Aust. J. Agric. Res. 47:505-12.
Qisthon, A. 1999. Respons Fisiologis dan
Produktivitas Sapi Dara Pernakan Fries
Holland pada Pemberian Air Minum dengan
Suhu yang Berbeda. Thesis. Program
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Rizki.1996. Pengukuran Beban Panas Akibat Radiasi
Matahari pada Sapi Perah Holstein Dara.
Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Roman-Ponce, H., W.H. Thatcher, D.E.
Buffington, C.J. Wilcox & H.H. Van Horn.
1977. Physiological and production responses
of dairy cattle to shade structure in subtropical
environmental. J. Dairy Sci. 60: 424-430.
Santoso, A.B. 1996. Pengaruh Lingkungan Mikro
terhadap Respons Fisioologi Sapi Dara
Peranakan Fries Holland. Thesis. Program
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Sastry, N.S.R. & C.K.Thomas. 1980. Farm Animal
Management. Vikas Publishing House PVT,
LTD., New Delhi.
Shibata, M. 1996. Factors affecting thermal balance
and production of ruminants in a hot
environment. A Review. Mem.Nat.Inst. Anim.
Ind. No. 10 National Institute of Animal
Industri Tsukuba, Japan.
Smith, J.F., D.V. Armstrong, M.J. Brouk,
Wuthironarith & J.P. Harner. 2005. Impact
of using feedline soakers in combinations with
tunnel ventilation and evaporative pads to
minimize heat stress in lactation dairy cows
located in Thailand. http://www.fass.org. [1
Maret 2006].
Soemarto, F. 1995. Pengaruh Berbagai Ketinggian
Bahan Atap Kandang terhadap Respons
Termoregulasi Sapi Dara Peranakan Fries
Holland. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB,
Bogor.
Suwito, E. 2000. Hubungan antara Lingkungan
Mikro dengan Lama Bernaung dalam Kandang
pada Sapi Dara Peranakan Fries Holland.
Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Thwaites, C.J. 1985. Physiological Responses and
Productivity in Sheep. In : M.K. Yousef (Ed.).
Stress Physiology in Livestock Vol. II:
Ungulates. CRC Press Inc. Boca Raton,
Florida.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,
S. Prawirakusumo & S. Lebdosoekotjo.
1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah
Mada University Press. Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Trewartha, G.T. 1954. An Introduction to Climate.
Mc Graw-Hill. Book Co Inc., New York.
Wierema, F. In: Chestnut, A. & D. Houston. 2002.
Heat Stress and Cooling Cows. http://
www.vigortone.com/heat_stress.htm [21
Oktober 2005].
Wiersma, F., D.V. Armstrong, W.T. Welchert &
D.G. Lough. 1984. Housing system for dairy
production under warm weather condition.
World Animal Review, 50:16-23.
Wilks, D.L., C.E. Coppock, J.K. Lanham,
K.N.Brooks, C.C. Baker, W. L. Bryson, R.G.
Elmpre & R.A. Stermer. 1990. Responses of
lactacing Holstein cows to chilled drinking
water in high ambient temperatures. J.Dairy
Sci. 73:1091 -1099.
Yeates, N.T.M. 1977. The coat and heat retention in
cattle: Studies in the tropical maritime climate
of Fiji. J. Agric Sci. (Camb). 88:223-226.
Yousef, M.K. 1985. Thermoneutral Zone. In: M.K.
Yousef (Ed.). Stress Physiology of Livestock.
Vol.II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
P.68-69.
46
YANI & PURWANTO Media Peternakan

sumber : Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 Vol. 29 No. 1
ISSN 0126-0472

2 komentar:

  1. Anda bingung cari alat-alat laboraturium, alat peraga pendidikan, alat peternakan, alat pertanian dan perkebunan? Kami punya solusinya. Kunjungi website kami http://pdaagar.com/ disini banyak alat-alat yang anda butuhkan dan harganya sangat terjangkau tidak menguras banyak kantong anda, tunggu apalagi segera kunjungi website kami.

    BalasHapus