Selasa, 04 September 2012

DIREKTORAT BUDIDAYA TERNAK
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN
KESEHATAN HEWAN
2012
PEDOMAN TEKNIS
PENGEMBANGAN BUDIDAYA SAPI PERAH
POLA PMUK
i
KATA PENGANTAR
Dalam DIPA Satuan Kerja Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI. Tahun Anggaran 2012, terdapat
kegiatan pengembangan budidaya sapi perah. Kegiatan tersebut difokuskan
pada peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah dalam rangka
peningkatan pendapatan peternak melalui produksi susu.
Jumlah kelompok yang berminat dibidang agribisnis peternakan
semakin banyak, hal ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah proposal
pengembangan budidaya sapi perah yang diajukan oleh kelompok peternak ke
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk mendapatkan
fasilitasi modal usaha sebagai dana stimulasi untuk mengembangkan usaha
budidaya sapi perah.
Agar pelaksanaan kegiatan pemberdayaan dan pengembangan
budidaya sapi perah di kelompok peternak tersebut dapat berjalan dengan
baik dan lancar, maka disusun Pedoman Teknis Pengembangan Budidaya Sapi
Perah Tahun 2012, untuk dijadikan acuan bagi para pelaksana kegiatan,
sehingga tujuan dan sasaran program dapat tercapai secara optimal.
Jakarta, Nopember 2011
DIREKTUR BUDIDAYA TERNAK
Ir. Fauzi Luthan
NIP. 19560505 198503 1 011
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................. ii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang .......................................................... 1
B. Maksud dan Tujuan ................................................... 1
C. Sasaran Kegiatan ....................................................... 3
D. Indikator Keberhasilan ............................................... 3
E. Ruang Lingkup .......................................................... 3
F. Pengertian ................................................................ 4
G. Komponen Kegiatan ................................................... 5
H. Peran Pemerintah Daerah, Swasta dan Masyarakat ........ 6
I. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan ...................................... 7
J. Lokasi Kegiatan ......................................................... 7
BAB II KRITERIA DAN SELEKSI PENETAPAN KELOMPOK ................ 8
A. Kriteria dan Persyaratan ............................................. 8
B. Seleksi dan Penetapan ............................................... 10
BAB III PENGELOLAAN DANA ...................................................... 12
A. Penggunan Dana ....................................................... 12
B. Pengajuan dan Transfer Dana ..................................... 13
BAB IV KEGIATAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA SAPI PERAH ............ 16
A. Induk Sapi Perah ....................................................... 16
B. Kandang dan Peralatan .............................................. 17
C. Pakan ....................................................................... 17
D. Obat-obatan.............................................................. 18
E. Penyakit Sapi Perah ................................................... 18
F. Pemerahan Susu ....................................................... 20
BAB V ORGANISASI PELAKSANAAN ................................................ 21
A. Pengarah Kegiatan ..................................................... 21
B. Tim Pelaksana ........................................................... 21
C. Tim Pembina ............................................................. 22
D. Tim Teknis Kabupaten/Kota ........................................ 23
BAB VI PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN ...................................... 24
A. Pembinaan ................................................................ 24
B. Pengendalian ............................................................ 24
C. Pengawasan .............................................................. 25
iii
BAB VII MONITORING DAN EVALUASI PELAPORAN ......................... 27
A. Indikator Kinerja ........................................................ 27
B. Monitoring dan Evaluasi.............................................. 28
C. Pelaporan ................................................................. 29
D. Jenis Pelaporan ......................................................... 30
BAB VIII PENUTUP ....................................................................... 32
iv
LAMPIRAN
Lampiran 1 Format Surat Perjanjian Kerjasama
Lampiran 2 Format Rencana Usaha Kegiatan Kelompok
Lampiran 3 Format Rekapitulasi Rencana Usaha Kegiatan Kelompok
Lampiran 4 Fomat Berita Acara Pembayaran
Lampiran 5 Format Kwitansi
Lampiran 6 Format Laporan Outline Tahunan
Lampiran 7 Format Laporan Bulanan
Lampiran 8 Format Laporan Triwulan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi sapi perah di Indonesia (Statistik Peternakan, 2010) tercatat
hanya 495. 231 ekor dengan laju pertumbuhan populasi mencapai 4.32
% per tahun. Secara geografis penyebaran sapi perah tidak merata di
seluruh tanah air, sebagian besar sapi perah atau 97% dari populasi
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Rataan produksi susu sapi perah per ekor
baru sekitar 10,5 liter/hari.
Rendahnya produktivitas sapi perah di Indonesia salah satu
penyebabnya adalah bahwa 95% sapi perah dikelola oleh peternak kecil
dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia peternak masih rendah,
kepemilikan lahan dan sarana prasarana yang sangat terbatas, kondisi
sosial ekonominya sulit, masih rendah skala usaha 3-4 ekor sedangkan
orientasi usaha masih bersifat sampingan.
Populasi dan produktivitas sapi perah tersebut tidak sebanding dengan
tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta
jiwa. Kebutuhan akan susu dalam negeri diproyeksikan meningkat
selaras dengan pertambahan penduduk dan tingkat kesadaran gizi
masyarakat. Populasi nasional yang rendah saat ini menyebabkan
produksi susu lokal hanya dapat mensuplai sekitar 24,8 % konsumsi
susu nasional. Apabila keadaan produksi susu nasional dibiarkan terus
tanpa adanya suatu upaya yang signifikan untuk lebih meningkatkannya,
maka kesenjangan antara produksi dengan permintaan akan semakin
melebar pada tahun-tahun mendatang. Konsekuensinya adalah
ketergantungan terhadap susu impor yang semakin besar akan
berdampak terhadap pengurasan devisa negara. Tiada pilihan lain selain
memacu peningkatan populasi dan produksi sapi perah secara nasional.
Upaya peningkatan produktivitas dan populasi sapi perah, guna
2
mencukupi kebutuhan susu nasional sangat diperlukan. Kebutuhan akan
susu dalam negeri diproyeksikan meningkat selaras dengan
pertambahan penduduk dan tingkat kesadaran gizi masyarakat.
Dalam era pasar bebas ini, usaha budidaya komoditas peternakan harus
mampu memiliki daya saing yang tinggi, sehingga usaha budidaya ternak
skala kecil harus dipacu untuk menjadi usaha peternakan berbasis
agribisnis dengan meningkatkan skala usaha 6 – 7 ekor.
Untuk melaksanakan peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah,
maka Direktorat Budidaya Ternak merencanakan kegiatan
Pengembangan Budidaya Sapi Perah, Pola Penguatan Modal Usaha
Kelompok. Pengembangan dan Peningkatan Produktivitas Sapi Perah
tersebut dilakukan melalui Kelompok yang dianggap mampu
melaksanakan kegiatan (Pengembangan dan Peningkatan Produksi Sapi
Perah) tetapi mempunyai keterbatasan dalam akses permodalan. Agar
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berjalan lancar dan tepat sasaran
maka pada tahun anggaran 2011 ini dilaksanakan penyusunan Pedoman
Teknis Kegiatan Pengembangan Budidaya Sapi Perah pola Penguatan
Modal Usaha Kelompok
B. Maksud dan Tujuan
Pedoman teknis pengembangan budidaya Sapi perah tahun 2011 ini
sebagai acuan bagi tim pelaksana Dinas Peternakan atau Dinas yang
menangani fungsi peternakan propinsi dan kabupaten/kota serta
institusi/pihak terkait lainnya dan kelompok ternak sapi perah terpilih,
dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing meliputi aspek
pelaksanaan monitoring, evaluasi, pengawasan, dan pelaporan kegiatan
sehingga program persusuan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien
dan akuntabel.
3
C. Sasaran Kegiatan
Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program pengembangan
budidaya sapi perah yaitu:
1. Meningkatnya populasi, produksi dan produktivitas sapi perah di
kelompok.
2. Menguatnya kelembagaan dan modal usaha kelompok di bidang
usaha budidaya sapi perah.
3. Meningkatnya kemandirian dan jaringan kerjasama antara kelompok
serta kelompok dengan stakeholders dan masyarakat.
4. Tumbuh dan berkembangannya kelompok sapi perah sebagai sentra
produksi perternakan, sekaligus sebagai embrio pembentukan inti
usaha budidaya sapi perah.
D. Indikator Keberhasilan
1. Adanya peningkatan populasi, produksi dan produktifitas sapi
perah;
2. Meningkatnya kemampuan peternakan dalam penerapan good
farming practices;
3. Tumbuh dan berkembangnya kelompok sapi perah sebagai sentra
produksi;
4. Meningkatnya kemandirian dan berkembangnya usaha budidaya
sapi perah.
E. Ruang Lingkup
Pedoman Teknis ini meliputi :
1. Maksud, tujuan, sasaran kegiatan, indikator keberhasilan, ruang
lingkup, pengertian.
2. Kriteria, seleksi dan penetapan kelompok, persyaratan kelompok,
persyaratan teknis usaha budidaya sapi Perah, seleksi dan
penetapan kelompok.
4
3. Pengelolaan dana operasional dan pengelolaan dana penguatan
modal usaha, penarikan dan penggunaan dana kelompok sapi Perah.
4. Kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi Perah, prinsip
pendekatan pelaksanaan kegiatan, pendampingan (petugas teknis)
kabupaten/kota, penguatan kapasitas kelembagaan kelompok,
pengembangan usaha budidaya, lokasi pengembangan.
5. Organisasi pelaksana.
6. Pembinaan dan pengendalian.
7. Pelaporan.
F. Pengertian
Didalam pedoman ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan budidaya sapi perah adalah wilayah yang mempunyai
potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk dapat di
kembangkan.
2. Kandang Anak Sapi adalah kandang yang digunakan untuk
memelihara anak sapi yang dipisahkan dari induknya yang benarbenar
bersih mempunyai udara segar, sinar matahari yang cukup
dan mudah dibersihkan.
3. Kandang Induk adalah kandang untuk sapi induk yang benar-benar
bersih, udara segar, sinar matahari yang cukup dan mudah
dibersihkan untuk kesehatan air susu yang dihasilkan.
4. Kandang untuk tempat ternak beranak adalah kandang yang
diperuntukkan bagi sapi yang akan beranak dan atau sedang
beranak.
5. Kandang Isolasi adalah kandang yang diperuntukkan bagi sapi yang
sakit dan atau sedang mendapat perawatan khusus.
6. Peternak adalah orang atau badan hukum dan atau buruh
peternakan yang mata pencahariaannya sebagian atau seluruhnya
bersumber kepada peternakan.
5
7. Peternakan Sapi Perah adalah usaha budidaya ternak sapi perah
dengan tujuan utama menghasilkan susu.
8. Sapi dara adalah sapi betina hasil seleksi sejak lepas sapih sampai
dengan siap dikawinkan pada umur 15 – 18 bulan.
9. Sapi Induk laktasi (Lactation Cow) adalah sapi yang telah beranak
dan menghasilkan susu.
10. Sapi Pejantan muda adalah sapi jantan hasil seleksi yang mempunyai
mutu genetic tinggi disiapkan untuk calon pejantan (performans
tested bull).
11. Ransum Sapi Perah adalah campuran bahan baku makanan ternak
yang tinggi nilai gizinya dan mudah dicerna.
12. Pakan hijauan adalah rerumputan atau dedaunan yang digunakan
sebagai makanan ternak, dapat berasal dari rumput, leguminosa,
sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat
yang relative tinggi dan kadar energi rendah. Kualitas pakan hijauan
tergantung umur pemotongan, palatabilitas dan ada tidaknya zat
toksin (beracun) dan anti nutrisi.
13. Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar
energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulant
pertumbuhan, hormone, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin
melebihi tingkat ambang batas.
14. Calf starter adalah pakan formula untuk pedet.
G. Komponen Kegiatan
Komponen kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi perah Dana
APBN (Dekonsentrasi/TP) tahun 2011 meliputi :
1. Perencanaan, koordinasi kepada stake holder terkait, baik ditingkat
pusat maupun di daerah.
6
2. Pelaksanaan Kegiatan :
a. Seleksi calon kelompok sapi perah melalui : identifikasi, verifikasi
dan validasi;
b. Penetapan Kelompok terpilih melalui Keputusan Kepala Dinas
Peternakan (provinsi/kabupaten/kota) yang membidangi fungsi
peternakan;
c. Penyusunan, pembahasan dan pengesahan Rencana Usaha
kegiatan (RUK) di kelompok Sapi Perah; penandatangan surat
perjanjian kerjasama dan dokumen administrasi pencairan Dana
antara kelompok sapi perah dengan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) dan/atau Penjabat Pembuat Komitmen (PPK);
d. Penyaluran dana penguatan modal usaha pengembangan
budidaya sapi perah ke rekening kelompok di bank pemerintah;
e. Pembinaan, koordinasi, dan supervisi pelaksanaan kegiatan
pengembangan budidaya sapi perah;
f. Monitoring, evaluasi dan pengawasan kegiatan pengembangan
budidaya sapi perah;
g. Pelaporan kegiatan pengembangan budidaya sapi perah.
H. Peran Pemerintah Daerah, Swasta dan Masyarakat
Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), swasta, dan
masyarakat memberikan dukungan terhadap upaya-upaya yang
dilakukan oleh kelompok sapi perah baik dalam rangka pengembangan
usahanya, maupun dalam pembinaan terhadap masyarakat sekitarnya.
Pemerintah provinsi melalui tim pembina provinsi, melakukan koordinasi,
sosialisasi, pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan kelompok
sapi perah. Pemerintah kabupaten/kota melalui tim teknis
kabupaten/kota memberikan rekomendasi usulan kelompok sapi perah,
pembinaan teknis dan manajemen dan pelaporan kelompok sapi perah,
serta melakukan pembinaan lanjutan bagi kelompok.
7
Selain itu, pemerintah Daerah(provinsi/kabupaten/kota) diharapkan
mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan menyediakan
sarana dan prasarana pendukung seperti penyediaan prasarana
transprotasi jalan, saluran listrik, pos kesehatan hewan terpadu, serta
alokasi dana pendamping yang memadai bagi kegiatan pengembangan
usaha budidaya sapi perah.
Swasta berperan dalam penyediaan sarana produksi peternakan seperti :
alat dan mesin, pengolahan dan pemasaran hasil, transfer teknologi,
pendidikan dan pelatihan, maupun kerjasama usaha melalui pola
kemitraan.
Masyarakat seperti asosiasi produsen, IPS, Koperasi, tokoh masyarakat
dan lainnya berperan memberikan dorongan sekaligus melakukan kontrol
terhadap pemanfaatan dana bantuan sosial modal usaha.
I. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi perah dana
APBN Tahun 2011, dilaksanakan dalam tahun 2011 dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2011.
J. Lokasi Kegiatan
Pengembangan usaha budidaya sapi perah tahun 2011 akan
dilaksanakan pada daerah-daerah potensial dengan memperhatikan
aspek teknis dan kebijakan pemerintah daerah.
8
BAB II
KRITERIA DAN SELEKSI PENETAPAN KELOMPOK
A. Kriteria dan Persyaratan
1. Kelompok
Kelompok sapi perah sasaran yang akan difasilitasi harus memenuhi
kriteria seleksi sebagai berikut :
(1) Kelompok sapi perah harus mempunyai legalitas/surat
keterangan dari pemerintah kabupaten/kota dan telah
beraktifitas di bidang sapi perah;
(2) Mempunyai potensi, minat dan telah merencanakan
pengembangan usaha budidaya sapi perah yang layak secara
teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan;
(3) Diutamakan bagi kelompok sapi perah yang akan atau telah
melaksanakan kerjasama dengan koperasi/ kelompok/ gapoktan/
IPS/asosiasi/swasta dan masyarakat sekitarnya;
(4) Mempunyai pengalaman untuk usaha peternakan sesuai yang
diusulkan di proposal;
(5) Kelompok sapi perah yang bersangkutan tidak atau sedang
bermasalah dengan program lainnya;
(6) Kelompok sapi perah pemeliharaannya secara berkoloni.
2. Lokasi
Lokasi usaha peternakan sapi perah harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
(1) Tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) setempat;
(2) Mempunyai potensi untuk pengembangan sapi perah serta
ditetapkan sebagai wilayah pengembangan sapi perah;
9
(3) Ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya disesuaikan
dengan lingkungan, sehingga kotoran dan limbah tidak
mencemari lingkungan;
(4) Usaha budidaya sapi perah sebaiknya terletak di daerah yang
tidak ditemukan gejala klinis atau bukti lain penyakit
tuberkolosis, brucellosis (keluron menular), anthrax (radang
limpa), anaplasmosis, piroplasmosis dan scabies;
(5) Lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar serta bebas
dari hewan piaraan lainnya yang dapat menularkan penyakit;
(6) Didukung oleh infrastruktur yang baik.
3. Sumber Air dan Penerangan
Sumber air tersedia tidak jauh dari kandang/kelompok peternakan
atau dapat mengalir dengan mudah mencapai kandang, dengan
penerangan yang cukup.
4. Bangunan dan Peralatan
Untuk usaha budidaya sapi perah diperlukan bangunan, letak
kandang, dan peralatan yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
(1) Konstruksi kandang harus kuat, terbuat dari bahan yang
ekonomis dan mudah diperoleh, sirkulasi udara dan sinar
matahari cukup, drainase dan saluran pembuangan limbah baik,
serta mudah dibersihkan, lantai dengan kemiringan 5% tidak
licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak, luas kandang
memenuhi pesyaratan daya tampung ternak.
(2) Letak kandang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Mudah diakses terhadap transportasi;
b. Tempat kering dan tidak tergenang saat hujan;
c. Dekat sumber air, atau mudah dicapai aliran air;
d. Kandang isolasi terpisah dari kandang/bangunan lain;
10
e. Tidak mengganggu lingkungan hidup;
f. Memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi.
(3) Peralatan meliputi tempat pakan dan tempat minum, alat
pemotong dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang dan
pembuatan kompos, peralatan kesehatan hewan, peralatan
pemerahan dan pengolahan susu, peralatan sanitasi kebersihan
dan peralatan pengolahan limbah.
5. Pakan
(1) Setiap usaha peternakan sapi perah harus menyediakan pakan
yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan
maupun pakan konsentrat.
(2) Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil
pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang
relative tinggi dan kadar energi rendah. Kualitas pakan hijauan
tergantung umur pemotongan, palatabilitas dan ada tidaknya zat
toksit (beracun) dan anti nutrisi.
(3) Pakan konsentrat diberikan sesuai standar kebutuhan untuk
pedet, sapi dara, sapi bunting, sapi laktasi dan sapi kering
kandang. Pakan dapat berupa ransom komersil atau campuran
sendiri.
(4) Pemberian imbuhan pakan (feed additive) dan pelengkap pakan
(feed supplement) harus memenuhi persyaratan perundangundangan
yang berlaku.
B. Seleksi Dan Penetapan Kelompok
1. Seleksi
Usulan (proposal) kelompok sapi perah yang berasal dari kelompok
sapi perah yang mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah
(Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota).
11
Selanjutnya diproses melalui 3 tahap seleksi yaitu:
a. Tahap pertama : penyusunan long list.
Penyusunan long list dilakukan berdasarkan usulan proposal
yang masuk ke Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur
peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota kemudian dilakukan
tabulasi serta melakukan inventaris pendataan (long list).
b. Tahap kedua : penyusunan medium list.
Berdasarkan data tabulasi dan inventarisasi (long list) Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan penilaian dan seleksi
terhadap proposal yang memenuhi syarat kelengkapan
administrasi dan teknis serta menghindari duplikasi sasaran
dengan tahun sebelumnya kedalam data tabulasi (medium list ).
c. Tahap ketiga : penyusunan short list .
TIM Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan identifikasi, validasi,
verifikasi dan analis ke lapangan dalam rangka penyusunan short
list untuk diusulkan ke Kepala Dinas Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai
kelompok calon penerima bantuan.
2. Penetapan
Berdasarkan short list calon kelompok sapi perah sasaran, Kepala
Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan kelompok sapi perah terpilih
sebagai penerima dana pengembangan budidaya kelompok sapi
perah tahun 2011.
12
BAB III
PENGELOLAAN DANA
Pengelolaan dana APBN Pusat (DEKON/TP) pengembangan budidaya sapi
perah tahun 2012 berpedoman pada: 1). Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
134/PMK.06/2005 tentang Pedoman pembayaran pelaksanaan APBN; 2)
Peraturan Ditjen Perbendaharaan Nomor : PER.11/PB/2011 tentang perubahan
Peraturan Ditjen Perbendaharaan Nomor : PER.66/PB/2005 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran APBN; 3) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 4) Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan
Dana APBN Ditjen Peternakan Tahun 2012.
A. Penggunaan Dana
Dana APBN Pusat (DEKON/TP) pengembangan budidaya Sapi Perah
merupakan dana yang dialokasikan kepada kelompok terpilih, digunakan
untuk pengembangan Budidaya Sapi Perah. Penggunaan dana diatur
dalam RUK yang peruntukkan meliputi: 1) Pembelian Induk Sapi Perah; 2)
Pengadaan sarana pendukung seperti kandang, obat-obatan dan vitamin,
pakan dll termasuk biaya administrasi dan pelaporan. Rincian penggunaan
dana sebagai berikut :
Tabel. 1: Proporsi penggunaan dana pengembangan budidaya Sapi Perah
Komponen Kegiatan Proporsi Pembiayaan (%)
Pembelian Ternak (75)
- Sapi Perah betina (ekor)
Sarana Penunjang (25)
1 Perbaikan Kandang
2 Pengembangan HMT
3 Pakan Konsentrat
4 Pengolahan limbah ternak
5 Obat-obatan & Vitamin/Mineral
6 Administrasi Kelompok
13
B. Pengajuan dan Transfer Dana
Kelompok sapi perah terpilih mengajukan usulan penyaluran dana
pengembangan budidaya sapi perah kepada KPA dengan melengkapi
persyaratan sebagai berikut:
1. Surat Perjanjian Kerjasama antara PPK Dinas Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota dengan ketua
Kelompok diketahui oleh KPA Dinas Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai
dengan lampiran 1).
2. Rencana Usaha Kegiatan Kelompok (RUK) pengembangan budidaya
sapi perah tahun 2011 ditandatangani oleh Ketua Kelompok, disetujui
oleh Tim Teknis Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur
peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota dan diketahui oleh Kepala Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai dengan format lampiran 2).
3. Rekapitulasi Rencana Usaha Kegiatan Kelompok (RUK) pengembangan
budidaya sapi perah tahun 2011 ditandatangani oleh Ketua Kelompok
disetujui oleh Tim Teknis Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi
unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota dan diketahui oleh PPK
Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai dengan format lampiran 3).
4. Berita Acara Pembayaran yang ditandatangani oleh ketua kelompok
sapi perah diketahui/disetujui oleh PPK Dinas Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai
dengan lampiran 4).
5. Kuitansi yang ditandatangani oleh Ketua kelompok (contoh format
sesuai dengan lampiran 5).
6. Nomor rekening bank atas nama kelompok dan ditandatangani oleh
Ketua dan Bendahara Kelompok.
7. Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana
14
agroinput.
8. Penyaluran dana ke rekening kelompok dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan ketentuan Perpres No 54 Tahun 2010, sebagai berikut:
a. Penyaluran tahap pertama sebesar 40 % (empat puluh persen)
dari keseluruhan dana yang akan diterima kelompok yang telah
menanda-tangani perjanjian kerjasama dengan PPK dan siap
melaksanakan kegiatan
b. Penyaluran tahap kedua sebesar 30 % (tiga puluh persen) dari
keseluruhan dana yang akan diterima kelompok, apabila pekerjaan
telah mencapai 30 % (tiga puluh persen) yang dibuktikan dengan
laporan realisasi perkembangan kegiatan dan penggunaan uang,
disahkan oleh tim teknis Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi
unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota.
c. Penyaluran tahap ketiga sebesar 30 % (tiga puluh persen) dari
keseluruhan dana yang akan diterima kelompok, apabila pekerjaan
telah mencapai 60 % (enam puluh persen) yang dibuktikan
dengan laporan realisasi perkembangan kegiatan dan penggunaan
uang, disahkan oleh tim teknis Dinas Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota.
KPA Satuan Kerja Dinas Peternakan (Dinas yang membidangi unsur
Peternakan) Provinsi/Kab/Kota, menerbitkan Surat Permintaan
Pembayaran Langsung (SPP-LS) dan disampaikan kepada Pejabat Penguji
dan Perintah Pembayaran (PPPP). Selanjutnya, bila semua persyaratan
administrasi telah terpenuhi maka PPPP menerbitkan Surat Perintah
Membayar Langsung (SPM-LS) untuk disampaikan ke Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) setempat. KPPN melakukan verifikasi
terhadap dokumen dari PPPP, bila disetujui maka KPPN menerbitkan Surat
Perintah Pencairan Dana (SP2D) ke rekening kelompok sapi perah yang
bersangkutan. Proses pengajuan dan transfer dana ke rekening kelompok
sapi secara ringkas ditampilkan pada seperti dibawah ini.
15
- Keputusan Dinas
Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur
peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota
tentang Penetapan
kelompok Terpilih
- Kontrak Perjanjian Kerja
sama
- Rekap RUK kelompok
- Kuitansi penerimaan
dana
- Laporan kemajuan
PPPP Menerbitkan SPM-LS
KPPN Menerbitkan SP2D
KPPN mentransfer dana SP2D ke Bank
Persepsi
KPA Menerbitkan SPP-LS
Ketua kelompok terpilih mengajukan usulan
pencairan dana sesuai tahapan
Bank Persepsi Mentransfer dana ke
rekening kelompok
16
BAB IV
KEGIATAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA SAPI PERAH
A. Induk Sapi Perah
Pemilihan Induk Sapi Perah merupakan salah satu faktor penunjang
keberhasilan budidaya ternak sapi perah, oleh karena itu dalam
menyeleksi induk sapi perah, harus sesuai dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Kepala panjang , sempit, halus, sedikit kurus dan tidak banyak berotot;
2) Leher panjang dan lebarnya sedang, besarnya gelambir sedada dan
lipatan-lipatan kulit leher halus;
3) Pinggang pendek dan lebar;
4) Gumba, punggung dan pinggang merupakan garis lurus yang panjang;
5) Kaki kuat, tidak pincang dan jarak antara paha lebar;
6) Badan berbentuk segitiga, tidak terlalu gemuk dan tulang-tulang agak
menonjol (BCS umumnya 2);
7) Dada lebar dan tulang -tulang rusuk panjang serta luas;
8) Ambing besar, luas, memanjang kedepan kearah perut dan melebar
sampai diantara paha. Kondisi ambing lunak, elastis dan diantara
keempat kuartir terdapat jeda yang cukup lebar. Dan saat sehabis
diperah ambing akan terlimpat dan kempis, sedangkan sebelum
diperah gembung dan besar.
9) Produksi susu tinggi;
10) Berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai keturunan produksi
susu tinggi;
11) Tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit hewan menular;
12) Jenis ternak sapi perah adalah sapi FH;
13) Induk sapi perah berumur 2 – 3 tahun dengan kondisi bunting 4 – 5
bulan.
17
B. Kandang dan Peralatan
Untuk usaha budidaya sapi perah diperlukan bangunan kandang yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Konstruksi kandang harus kuat, terbuat dari bahan yang ekonomis dan
mudah diperoleh, sirkulasi udara dan sinar matahari cukup, drainase
dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan, lantai
dengan kemiringan 1% - 2%, tidak licin, tidak kasar, luas kandang
memenuhi persyaratan daya tampung ternak.
2) Letak kandang harus memenuhi persyaratan yaitu: mudah diakses
terhadap transportasi baik roda dua maupun roda empat, lokasi
kandang bukan daerah genangan air atau banjir, dekat sumber air,
atau mudah dicapai aliran air, kandang isolasi terpisah dari kandang
utama, tidak menggangu lingkungan hidup serta memenuhi
persyaratan hygiene dan sanitasi pengolahan susu.
3) Peralatan meliputi tempat pakan dan tempat minum, alat pemotong
dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang dan pembuatan
kompos, peralatan kesehatan hewan, peralatan pemerahan dan
pengolahan susu, peralatan sanitasi kebersihan dan peralatan
pengolahan limbah.
C. Pakan
1) Setiap usaha peternakan sapi perah harus menyediakan pakan yang
cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan maupun
pakan konsentrat.
2) Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, limbah
pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relative
tinggi dan kadar energi rendah. Kualitas pakan hijauan tergantung
umur pemotongan, palatabilitas dan ada tidaknya zat toksik (beracun)
dan anti nutrisi.
18
3) Pakan konsentrat diberikan sesuai standar kebutuhan untuk pedet,
sapi dara, sapi bunting, sapi laktasi dan sapi kering kandang. Pakan
konsentrat dapat berupa ransum komersil atau campuran sendiri,
dengan mengupayakan pemanfaatan bahan baku lokal.
4) Pemberian imbuhan pakan (feed additive) dan pelengkap pakan (feed
supplement) harus memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang
berlaku.
D. Obat-obatan.
Pengadaan obat-obatan harus sesuai dengan kebutuhan penyakit sapi
perah yang ada di lokasi, antara lain obat untuk menangani penyakit
reproduksi, mastitis, metabolik, dan penyakit hewan lainnya.
E. Penyakit Sapi Perah
Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi
perah. Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan
klinis dan reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi,
retensi plasenta,kawin berulang, endometritis dan mastitis. Sedangkan
gangguan klinis yang sering terjadi adalah gangguan metabolisme (ketosis,
bloot, milk fever dan hipocalcemia), panaritium, enteritis, displasia
abomasum dan pneumonia.
1) Mastitis
Mastitis adalah penyakit infeksi pada ambing oleh bakteri. Menjaga
kebersihan kandang/sanitasi merupakan cara terbaik mencegah
mastitis, termasuk melakukan ”teat dip” setiap kali pemerahan. Teat
dip (larutan celup puting susu) : 250 ml chlorohexadine 2% + 45 ml
gliserin + air sehingga menjadi 1 liter larutan.
Tanda-tanda mastitis yaitu :
a. Ambing terasa panas, sakit dan membengkak;
b. Bila diraba terasa ada yang mengeras pada ambing;
19
c. Warna dan kualitas air susu abnormal, seperti ada warna
kemerahan (darah), pucat seperti air, kental kekuningan atau
kehijauan.
Mastitis dapat diobati dengan antibiotik. Beberapa obat mastitis telah
tersedia seperti metrivet, mastivet, depolac dll. Pengobatan dilakukan
dengan memasukkan antibiotik melalui puting susu, setelah ambing
dikosongkan (diperah) terlebih dahulu. Lakukan pengobatan 2 – 3
kali/hari, sampai ternak benar-benar sembuh.
2) Penyakit radang kuku atau kuku busuk
Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang
basah dan kotor.
Tanda-tanda radang kuku busuk :
a. Mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan
putih keruh;
b. Kulit kuku mengelupas;
c. Tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit;
d. Sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.
Upaya pencegahan dan pengobatannya dilakukan dengan memotong
kuku dan merendam bagian yang sakit dalam larutan refanol selama
30 menit yang diulangi seminggu sekali serta menempatkan sapi
dalam kandang yang bersih dan kering.
Selain itu faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam kesehatan sapi
perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan
peralatan pemerahan yang baik.
20
F. Pemerahan Susu.
Sebelum pemerahan perlu melakukan pembersihkan kandang,
memandikan sapi, membersihkan ambing dan penyediaan sarana
pemerahan. Setelah kegiatan tersebut dilakukan pemerahan awal yaitu
dengan mengeluarkan 3 – 4 pancaran susu untuk mengetahui adanya
perubahan pada susu dan merangsang pengeluaran susu.
Pemerahan harus dilaksanakan 2 kali sehari untuk mencegah penyakit
mastitis .
Setelah selesai memerah puting pada ternak harus langsung disucihamakan
dengan menggunakan larutan desinfektan.
Selanjutnya susu disaring dari ember pemerahan ke milk can untuk
membersihkan susu dari bulu atau kotoran yang masuk kedalam susu.
21
BAB V
ORGANISASI PELAKSANAAN
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan pengembangan budidaya sapi perah,
maka dibentuk TIM Pengembangan Budidaya Sapi perah dana APBN
(DEKON/TP) Tahun 2011, di Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi unsur
peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota.
A. Pengarah Kegiatan
Penanggung jawab kegiatan pengembangan budidaya sapi perah dana
APBN (DEKON/TP) tahun 2011 adalah Kepala Dinas Peternakan/Dinas yang
membidangi unsur peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota.
B. Tim Pelaksana
Penanggung jawab pelaksanaan kegiatan pengembangan budidaya sapi
perah dana APBN (DEKON/TP) tahun 2011 adalah Kepala Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi unsur peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota dengan Ketua Pelaksana Kepala Bagian yang
menanggani fungsi peternakan dan beranggotakan unsur-unsur staf
lingkungan Dinas Daerah (provinsi/kabupaten/kota).
Tugas Tim Pelaksana pengembangan budidaya sapi perah dana APBN
(DEKON/TP) tahun 2011 adalah tugas :
1) Menyiapkan dokumen perencanaan kegiatan pengembangan budidaya
sapi perah.
2) Menyiapkan bahan dan melaksanakan kegiatan pengembangan
budidaya sapi perah.
3) Melakukan koordinasi dan sosialisasi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan kegiatan.
4) Melakukan identifikasi dan proses seleksi calon kelompok kegiatan
pengembangan budidaya sapi perah.
22
5) Melakukan validasi dan penilaian calon kelompok sapi perah terpilih
dan mengusulkan hasilnya kepada Tim Pengarah untuk ditetapkan
menjadi kelompok penerima dana APBN (DEKON/TP) sapi perah
terpilih.
6) Menyusunan, pembahasan dan mengesahkan Rencana Usaha kegiatan
(RUK) di kelompok Sapi perah; penandatangan surat perjanjian
kerjasama antara kelompok sapi perah dengan PPK yang diketahui
oleh Kuasa Pengguna Anggaran; dalam rangka penyaluran dana
penguatan modal usaha kerekening kelompok sapi perah.
7) Melakukan monitoring dan evaluasi serta membantu menyelesaikan
permasalahan.
8) Menyusun laporan hasil kegiatan pengembangan budidaya sapi perah.
9) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Pelaksana bertanggung jawab dan
wajib menyampaikan laporan ke Kepala Dinas Daerah
(provinsi/kabupaten/kota) dan Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
C. Tim Pembina
Terdiri dari unsur-unsur Direktorat Budidaya Ternak, Dinas/Badan lingkup
pertanian, instansi terkait, UPT lingkup pertanian, perguruan tinggi, dan
lain-lain. Dalam menjalankan tugasnya Tim Pembina dapat menggunakan
anggaran APBN, APBD Provinsi,Kabupaten/Kota dalam rangka efisiensi dan
efektivitas kegiatan dimungkinkan dapat menggunakan Tim Pembina yang
sudah ada sebelumnya seperti Tim LM3, Tim SMD, dan lainnya.
Tugas Tim Pembina adalah sebagai berikut :
1) Melakukan koordinasi dalam pembinaan dan pelaksanaan kegiatan
dengan instansi terkait di tingkat pusat/provinsi/kabupaten/kota.
2) Melakukan sosialisasi dan pembinaan ke kabupaten/kota pelaksana
kegiatan pengembangan budidaya sapi perah.
3) Menghadiri berbagai pertemuan kegiatan pengembangan budidaya
sapi perah.
23
4) Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
pengembangan budidaya sapi perah.
5) Menyusun dan menyampaikan laporan ke Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Provinsi.
D. TIM Teknis Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Teknis yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi-fungsi Peternakan
dengan unsur personalianya berasal dari dinas. Dalam menjalankan
tugasnya Tim Teknis dapat menggunakan anggaran TP dan APBD
kabupaten/kota. Dalam rangka efisiensi dan efetivitas kegiatan,
dimungkinkan menggunakan Tim Teknis yang sudah ada, seperti Tim
Teknis LM3 atau Tim Teknis SMD.
Tugas Tim Teknis Kabupaten/kota adalah sebagai berikut :
1) Memberikan rekomendasi usulan proposal kelompok sapi perah
dengan tembusan ke Dinas Peternakan/ yang menangani fungsi-fungsi
peternakan provinsi;
2) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat kabupaten
/kota dalam pelaksanaan kegiatan;
3) Bersama-sama dengan kelompok, menyusun Rencana Usaha Kelompok
(RUK);
4) Melakukan pembinaan teknis budidaya sapi perah;
5) Melakukan pembinaan managemen dan pengembangan, kelembagaan
usaha budidaya sapi perah;
6) Menghadiri berbagai pertemuan pengembangan usaha budidaya sapi
perah di tingkat pusat maupun daerah;
7) Menyampaikan laporan tingkat kabupaten/kota ke provinsi dan pusat
24
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
A. Pembinaan
Pembinaan terhadap kelompok sapi perah dalam pengembangan usaha
budidaya sapi perah, dilakukan secara berkelanjutan sehingga kelompok
sapi perah tersebut mampu mengembangkan usahanya secara mandiri,
dan mampu mengembangkan dirinya sebagai motivator dan fasilitator
pengembangan usaha budidaya sapi perah di masyarakat sekitarnya
(agent of development).
Pembinaan dilakukan secara berjenjang oleh Direktorat Budidaya Ternak
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Tim Pembina
Propinsi dan Tim Teknis Kabupaten/Kota.
B. Pengendalian
Kegiatan pengendalian oleh Tim Direktorat Budidaya Ternak Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Tim Pembina Propinsi dan Tim
Teknis Kabupaten/Kota dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan kelompok
sapi perah memenuhi prinsip good governance dan clean government,
yaitu:
1) Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Memenuhi prinsip efisien, efektif dan akuntabel;
3) Menjunjung tinggi keterbukaan informasi, transparansi, dan demokrasi.
Pelaksanaan pengendalian kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi
perah tahun 2011, dilakukan secara terkoordinasi dengan Tim Pembina
Pusat, Propinsi dan Tim Teknis Kabupaten/Kota dengan kegiatan meliputi 3
(tiga) aspek yaitu:
a. Pengendalian pada tahap persiapan (ex-ante), yaitu pengendalian
yang dilakukan sebelum ditetapkannya rencana pengembangan usaha
25
budidaya sapi perah di kelompok sapi perah dengan tujuan untuk
memilih dan menentukan kelompok sasaran sapi perah tahun 2011.
b. Pengendalian pada tahap perlaksanaan (on–going), yaitu pengendalian
yang dilakukan pada saat pelaksanaan rencana pengembangan usaha
budidaya sapi perah di kelompok sapi perah untuk menilai tingkat
kemajuan pelaksanaannya dibandingkan dengan rencana yang telah
dirumuskan sebelumnya. Selanjutnya, pada akhir pelaksanaan,
pengendalian diarahkan untuk melihat apakah keluaran dan hasil
kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi perah di kelompok sapi
perah telah tercapai. Pengendalian ini digunakan untuk menilai
efektivitas (hasil terhadap sasaran) dan efisiensi (keluaran dan hasil
dibandingkan dengan masukan)
c. Pengendalian pada tahap pasca pelaksanaan (ex-post), yaitu
pengendalian yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana
pengembangan usaha budidaya sapi perah berakhir, yang diarahkan
untuk melihat apakah pencapaian manfaat dan dampak
pengembangan usaha budidaya sapi perah di kelompok sapi perah
telah mampu mengatasi masalah pembangunan pertanian yang ingin
dipecahkan.
C. Pengawasan
Dalam sistem penganggaran terpadu berbasis kinerja, dilakukan penilaian
terhadap capaian kinerja outputs dan outcomes dari setiap program dan
kegiatan yang dilaksananakan oleh instansi, untuk memberikan keyakinan
bahwa sasaran dan tujuan dari suatu program dan kegiatan dapat
tercapai sesuai dengan prinsip efisien, ekonomis, efektif dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Dana penguatan modal usaha kelompok sapi perah yang difasilitasi
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian kepada kelompok sapi perah sebagai modal usaha diharapkan
dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan oleh pengurus kelompok
26
sapi perah sesuai dengan Rencana Usaha Kegiatan (RUK). Tim Teknis
Kabupaten/Kota bertangung jawab melakukan pengawasan terhadap
penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha kelompok sapi
perah untuk pengembangan usaha produktif.
Dalam rangka pengawasan tersebut, Tim Teknis Kabupaten/Kota dapat
membentuk Tim Pengawas.
27
BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI SERTA PELAPORAN
A. Indikator Kinerja
Indikator keberhasilan berupa masukan (input), keluaran (output), hasil
(outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact) kegiatan
pengembangan budidaya sapi perah di jabarkan sebagai berikut:
1) Masukan (input)
a. Terdistribusinya Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Budidaya
Sapi Perah untuk dijadikan acuan oleh pihak terkait;
b. Adanya kelompok sapi perah yang akan melaksanakan kegiatan
Pengembangan Usaha Budidaya Sapi Perah;
c. Adanya dana penguatan modal usaha budidaya sapi perah.
2) Keluaran (output)
a. Terpilihnya kelompok sapi perah;
b. Tersalurkannya dana penguatan modal usaha kelompok di bidang
usaha budidaya sapi perah secara langsung kepada rekening
kelompok sapi perah terpilih;
c. Kelompok tani ternak melaksanakan usaha budidaya ternak sapi
perah.
3) Hasil (outcome)
a. Meningkatnya kegiatan usaha budidaya sapi perah,
populasi,produksi, produktivitas, diversifikasi usaha, mutu serta
nilai tambah usaha budidaya sapi perah pada kelompok dan
masyarakat sekitarnya;
b. Meningkatnya pengetahuan, ketrampilan, dan sikap peternak sapi
perah;
c. Meningkatnya kualitas pengelolaan usaha budidaya sapi perah dan
jaringan kerjasama kelompok.
28
4) Manfaat (benefit)
a. Meningkatnya peran kelompok sebagai motivator dan fasilitator
(agent of development) pengembangan usaha budidaya sapi perah
di sekitarnya dan sebagai inti kawasan peternakan;
b. Meningkatnya modal usaha budidaya sapi perah berbasis
kelompok sapi perah disekitarnya;
c. Meningkatnya kemampuan dan kapasitas peternak sapi perah;
d. Meningkatnya kemandirian dan berkembangnya usaha budidaya
sapi perah pada kelompok;
e. Meningkatnya kapasitas kelembagaan usaha budidaya sapi perah.
5) Dampak (impact)
a. Berkembangnya usaha budidaya sapi perah di pedesaan dan
tumbuhnya kawasan usaha agribisnis yang ramah lingkungan;
b. Meningkatnya kesejateraan masyarakat sekitar kelompok sapi
perah;
c. Berkembangnya perekonomian wilayah secara berkelanjutan.
B. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Pengembangan Budidaya
Sapi Perah, dimaksudkan untuk mengetahui secara akurat realisasi fisik
dan keuangan, serta perkembangan usaha dan kelembagaannya, termasuk
mengetahui kendala yang dihadapi mulai dari pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan yang lebih utama adalah di kelompok pelaksana.
Monitoring dan Evaluasi dilakukan secara berkala dan berjenjang sesuai
dengan tahapan pelaksanaan kegiatan di kelompok, dengan tujuan
untuk mengidentifikasi dan memberikan solusi pemecahan permasalahan
yang dihadapi pada masing-masing jenjang (pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan kelompok pelaksana).
29
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara terkoordinasi oleh pusat, Dinas
Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk memantau perkembangan pelaksanaan
kegiatan. Sasaran pembinaan, monitoring dan evaluasi yang dilakukan
secara berjenjang tersebut meliputi :
1) Kemajuan pelaksanaan kegiatan sesuai indikator kinerja
2) Permasalahan/potensi masalah yang dihadapi di tingkat kelompok,
kabupaten/kota dan provinsi.
3) Laporan mencakup perkembangan kinerja usaha kelompok termasuk
realisasi fisik dan keuangan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pengembangan budidaya
Sapi Perah yang dilaksanakan oleh kelompok terpilih ini dilaksanakan
sepanjang tahun. Hasil monitoring dan evaluasi diformulasikan dalam
bentuk laporan, merupakan data dan informasi untuk bahan koreksi
pelaksanaan kegiatan, dan untuk perbaikan sistem pelaksanaan kegiatan
yang sama di masa yang akan datang.
C. PELAPORAN
Pelaporan pelaksanaan kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi
Perah dilaksanakan secara berjenjang dan periodik. Kelompok sapi Perah
terpilih dan petugas pendamping menyampaikan laporan bulanan :
2) Kelompok tani ternak sapi perah melaporkan kepada Tim Teknis
tingkat kabupaten/kota setiap awal bulan (minggu I) bulan berikutnya
dengan tembusan ditujukan kepada Direktorat Budidaya Ternak
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selaku
penanggung jawab pelaksana kegiatan.
3) Tim Teknis tingkat kabupaten/Kota menyampaikan Laporan
Bulanan setiap awal minggu II bulan kepada Tim Pembina Provinsi
dengan tembusan ditujukan kepada Direktorat Budidaya Ternak
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selaku
penanggung jawab pelaksana kegiatan.
30
4) Tim Pembina Provinsi menyampaikan laporan triwulan yang ditujukan
kepada Direktorat Budidaya Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan selaku penanggung jawab pelaksana kegiatan.
D. JENIS PELAPORAN
1) Pelaporan Kelompok
Kelompok sapi perah, dibantu oleh petugas pendamping wajib
membuat laporan pertanggung jawaban sebagai berikut :
a. Laporan Bulanan yaitu berisi kemajuan realisasi fisik dan
keuangan, disertai waktu, jenis dan jumlah sarana prasarana
usaha yang diadakan.
b. Laporan Triwulan yaitu berisi perkembangan kinerja
pengembangan usaha budidaya sapi perah berupa:
perkembangan populasi sapi perah di kelompok sapi perah
(kelahiran, kematian, penjualan ternak, mutasi ternak), produksi
daging dan susu (harga daging per kilo/susu segar per liter,
pemasaran, pemupukan modal, penyerapan tenaga kerja,
pendapatan, permasalahan dan kendala serta solusi masalah yang
telah dilakukan.
2) Pelaporan Tim Teknis Kabupaten
Tim Teknis Kabupaten/Kota wajib membuat laporan setiap bulan.
Laporan bulanan berisi tingkat kemajuan pelaksanaan pengembangan
usaha budidaya sapi perah dibandingkan dengan rencana yang telah
dirumuskan 3 (tiga) bulan sebelumnya, dan perkembangan kegiatan
pengembangan usaha budidaya sapi perah sesuai indikator
keberhasilan yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala yang
dihadapi, solusi yang dilakukan dan saran tindak lanjut.
3) Pelaporan Tim Pembina Provinsi
Tim Pembina Provinsi wajib membuat laporan triwulanan. Laporan
triwulanan berisi tingkat kemajuan pelaksanaan pengembangan usaha
budidaya sapi perah di seluruh Kabupaten/Kota dalam wilayahnya,
31
dibandingkan dengan rencana yang telah dirumuskan 3 (tiga) bulan
sebelumnya, dan perkembangan kegiatan kelompok sapi perah sesuai
indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, permasalahan dan
kendala yang dihadapi, solusi yang dilakukan dan saran tindak lanjut.
4) Pelaporan Tim Pelaksana Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia
Berdasarkan laporan triwulanan dari Provinsi dan laporan kelompok
sapi perah terpilih kegiatan pengembangan usaha budidaya sapi
perah, Tim Pelaksana Pusat Direktorat Budidaya Ternak Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan wajib menyampaikan
laporan kinerja pengembangan usaha budidaya sapi perah kepada
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Materi laporan berisi tingkat kemajuan pelaksanaan pengembangan
sapi perah di wilayah/kabupaten/kota seluruh provinsi, dibandingkan
dengan rencana yang telah dirumuskan sebelumnya, dan
perkembangan kegiatan kelompok sapi perah sesuai indikator
keberhasilan yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala yang
dihadapi, solusi yang dilakukan dan saran tindak lanjut. Adapun
format, substansi dan penyampaian laporan terlampir.
32
BAB VIII
PENUTUP
Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Sapi Perah ini dimaksudkan
sebagai acuan bagi para pelaksana untuk mendukung kelancaran
operasionalisasi pelaksanaan kegiatan dalam rangka melaksanakan amanah UU
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta
merespon aspirasi kelompok tani ternak yang berkeinginan untuk
mengembangkan usaha sapi perah.
Diharapkan dengan adanya Pedoman Teknis ini, semua pelaksana kegiatan di
tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kelompok pelaksana serta stakeholder
terkait dapat melaksanakan seluruh tahapan kegiatan secara baik dan benar
menuju tercapainya sasaran yang telah ditetapkan dengan mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWAN
33
Lampiran – 1
Format Surat Perjanjian Kerjasama
SURAT PERJANJIAN KERJASAMA
NOMOR : ....................................
ANTARA
PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN………..
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA…………
DENGAN
KELOMPOK PENGEMBANGAN SAPI PERAH DANA BANTUAN SOSIAL
TAHUN 2011 ............................
DESA ....................., KECAMATAN ..................., KABUPATEN
............................
PROVINSI .......................................................................
TENTANG
PENGGUNAAN DANA PENGEMBANGAN SAPI PERAH
DANA BANTUAN SOSIAL
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
TAHUN 2011
Pada hari ini ............... tanggal ................. bulan ..................... tahun dua
ribu sebelas bertempat di Kantor Dinas......./Kab/Kota, Jalan ..........No.
Kab/Kota...... kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1
.
.................. : Pejabat Pembuat Komitmen Dinas Peternakan
Kabupaten/Kota berdasarkan Keputusan
No.................yang berkedudukan di
Jalan...........yang untuk selanjutnya disebut sebagai
PIHAK PERTAMA.
2
.
……………… : Ketua Kelompok Tani Ternak…......dalam hal ini
bertindak untuk dan atas nama Kelompok
Ternak…….yang berkedudukan di
Desa/Kel…………………Kecamatan……………Kabupaten/
Kota… Provinsi……..….yang selanjutnya disebut
sebagai PIHAK KEDUA.
Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan Perjanjian Kerjasama yang
mengikat dan berakibat hukum bagi kedua belah pihak untuk melaksanakan
Pengembangan Budidaya Sapi Perah Direktorat Jenderal Peternakan dan
34
Kesehatan Hewan Tahun 2011 kepada Kelompok, dengan ketentuan sebagai
berikut :
Pasal 1
DASAR PELAKSANAAN
1. Undang Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan;
2. Keputusan Presiden No. 42 Tahun 2002, tentang Pedoman Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden No. 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4418);
3. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan Dana Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2011
Nomor:0327/018-06.1.01/00/2011 tanggal 20 Desember 2010;
4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor……………tentang Pedoman Penyaluran
Bantuan Sosial kepada Petani Tahun Anggaran 2011;
5. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: PER………………..
tanggal ………….. 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyaluran dan
Pencairan Dana Bantuan Sosial Kepada Petani Tahun Anggaran 2010
melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
6. Keputusan Kepala Dinas Peternakan Kab/Kota ..............
Nomor…….tanggal……. 2011 tentang Penetapan Nama Kelompok dan
lokasi Penerima Dana Bantuan Sosial Pengembangan Budidaya Sapi Perah
Tahun 2011.
Pasal 2
LINGKUP PEKERJAAN
PIHAK PERTAMA memberikan tugas kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK
KEDUA telah setuju untuk menerima dan memanfaatkan Dana Bantuan
Sosial Pengembangan Budidaya Sapi Perah Tahun 2011 sesuai dengan
Rencana Usaha Kelompok (RUK) terlampir yang disusun oleh Kelompok
dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Surat Perjanjian
Kerjasama ini.
Pasal 3
PELAKSANAAN KEGIATAN
1. PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dengan
mengerahkan segala kemampuan, pengetahuan dan pengalamannya;
2. Jika dalam pelaksanaan kegiatan diperlukan perubahan yang tak dapat
dihindari atas Rencana Usaha Kelompok, maka perubahan tersebut harus
35
dituangkan dalam Berita Acara Perubahan yang disepakati dan disahkan
oleh kedua belah pihak paling lambat 1 (satu) minggu sebelum
pelaksanaan kegiatan;
3. PIHAK PERTAMA berwenang mengadakan pemantauan, pengawasan dan
evaluasi pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA;
4. Kelompok wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan anggaran
sesuai Rencana Usaha Kelompok kepada PIHAK PERTAMA, setiap bulan;
5. Dalam melaksanakan kegiatannya, PIHAK KEDUA berkewajiban
mengembangkan modal usahanya untuk kegiatan Pengembangan
Budidaya Sapi Perah sesuai petunjuk Tim Teknis Dinas Kabupaten/Kota
setempat.
Pasal 4
SUMBER DAN JUMLAH DANA
Sumber dan jumlah dana APBN Pengembangan Budidaya Sapi Perah yang
diterima oleh PIHAK KEDUA adalah:
1. Sumber dana sebagaimana tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA Direktorat Jenderal Peternakan Tahun Anggaran 2011
Nomor:0327/018-06.1.01/00/2011 tanggal 20 Desember 2010);
2. Jumlah dana yang disepakati kedua belah pihak sebesar Rp. …………………,-
(……………………….juta rupiah).
Pasal 5
PEMBAYARAN DAN PENCAIRAN DANA
1. Pembayaran Dana Bantuan Sosial Pengembangan Budidaya Sapi Perah
Tahun 2011 sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 2 (dua) Surat Perjanjian
Kerjasama ini akan dilakukan oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA
setelah perjanjian kerjasama ini ditandatangani oleh kedua belah pihak
dan dilaksanakan melalui Surat Perintah Membayar (SPM) yang
disampaikan oleh KPA kepada kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara…..dengan cara pembayaran langsung ke rekening
Kelompok.…yang berkedudukan di Desa/Kel... Kecamatan...
Kabupaten/Kota..… Provinsi…. pada Bank….Cabang...dengan Nomor
Rekening…………………..
2. Penyaluran dana Bantuan Sosial kepada kelompok mengikuti
peraturan/ketentuan yang berlaku, yaitu Perpres R I No. 54 Tahun 2010
yang juga mengatur tentang penyaluran dana pada kelompok masyarakat.
Dengan demikian penyaluran dana Dana Bantuan Sosial Pengembangan
Budidaya Sapi Perah Tahun 2011 akan diatur sebagai berikut:
a. Penyaluran tahap pertama sebesar 40 % (empat puluh persen) dari
keseluruhan dana yang akan diterima kelompok yang telah menandatangani
perjanjian kerjasama dengan PPK dan siap melaksanakan
kegiatan
36
b. Penyaluran tahap kedua sebesar 30 % (tiga puluh persen) dari
keseluruhan dana yang akan diterima kelompok, apabila pekerjaan
telah mencapai 30 % (tiga puluh persen) dari RUK yang telah
dibuktikan dengan laporan realisasi perkembangan dan disahkan oleh
tim kabupaten/kota.
c. Penyaluran tahap ketiga sebesar 30 % (tiga puluh persen) dari
keseluruhan dana yang akan diterima kelompok, apabila pekerjaan
telah mencapai 60 % (enam puluh persen) dari RUK yang dibuktikan
dengan laporan realisasi perkembangan dan disahkan oleh tim teknis
kabupaten/kota.
3. Penarikan dana dari Bank dilakukan secara bertahap sesuai realisasi
pembelian dari Rencana Usulan Kegiatan (RUK) Kelompok Sapi Perah
Pengembangan Budidaya Sapi Perah Tahun 2011 yang diketahui oleh
Ketua Tim Teknis Kabupaten/Kota.
Pasal 6
SANKSI
Apabila PIHAK KEDUA tidak dapat melaksanakan kegiatan dan pemanfaatan
dana APBN Pengembangan Budidaya Sapi Perah sebagaimana dimaksud
dengan Pasal 2, maka PIHAK PERTAMA berhak secara sepihak mencabut
seluruh dana yang diterima PIHAK KEDUA yang mengakibatkan Surat
Perjanjian Kerjasama batal.
Pasal 7
PERSELISIHAN
1. Apabila terjadi perselisihan antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA
sehubungan dengan surat perjanjian kerjasama ini, maka akan
diselesaikan secara musyawarah untuk memperoleh mufakat;
2. Apabila dengan cara musyawarah belum dapat dicapai suatu penyelesaian,
maka kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkan penyelesaiannya
Kepada Pengadilan Negeri…., sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku;
3. Keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum
adalah mengikat kedua belah pihak.
Pasal 8
FORCE MAJEURE
1. Jika timbul keadaan memaksa (force majeure) yaitu hal-hal yang diluar
kekuasaan PIHAK KEDUA sehingga mengakibatkan tertundanya
pelaksanaan kegiatan, maka PIHAK KEDUA harus memberitahukan secara
37
tertulis kepada kepada PIHAK PERTAMA dengan tembusan kepada
Dinas……Kab/Kota……Provinsi…….dalam waktu 4 X 24 jam;
2. Keadaan memaksa (force majeure) yang dimaksud pasal 8 ayat (1) adalah:
a. Bencana alam seperti gempa bumi, angin topan, banjir besar,
kebakaran yang bukan disebabkan kelalaian PIHAK KEDUA;
b. Peperangan;
c. Perubahan kebijakan moneter berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
LAIN-LAIN
1. Bea materai yang timbul akibat pembuatan surat perjanjian kerjasama ini
menjadi beban PIHAK KEDUA;
2. Segala lampiran yang melengkapi surat perjanjian kerjasama ini
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan mempunyai kekuatan hukum
yang sama;
3. Perubahan atas surat perjanjian kerjasama ini tidak berlaku kecuali terlebih
dahulu telah mendapatkan persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 10
PENUTUP
Surat perjanjian kerjasama ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
penuh kesadaran dan tanggungjawab tanpa adanya paksaan dari manapun
dan dibuat rangkap 6 (enam) yang kesemuanya mempunyai kekuatan hukum
yang sama untuk digunakan sebagaimana mestinya.
PIHAK KEDUA
Ketua Kelompok ............
……………………………….
PIHAK PERTAMA
Pejabat Pembuat Komitmen
Dinas Peternakan
Provinsi/Kab/Kota..............
...........................................
NIP........................................
Mengetahui
Dinas Peternakan
Provinsi/Kab/Kota..............
.........................................
NIP. ..............................
38
Lampiran – 2
Format Rencana Usaha Kegiatan Kelompok
RENCANA USAHA KEGIATAN KELOMPOK
No.
Kegiatan
Volume
Harga
satuan (Rp.)
Jumlah (Rp.)
1. Min 85 %
2.
3.
4.
5.
6.
Total
(tempat workshop), .................. 2010
Kelompok Tani Ternak………………..
1 …………… (……ttd………)
Ketua
2 …………… (……ttd………)
Anggota
Mengetahui/Menyetujui
Tim Teknis Dinas Peternakan
Kabupaten/ Kota
......................................
NIP. ...............................
Mengetahui
Kepala Dinas Peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota
………………………….
NIP.
39
Lampiran - 3
Format Rekapitulasi Rencana Usaha Kegiatan Kelompok
Nama Kelompok
Desa/Kelurahan :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
REKAPITULASI RENCANA USAHA KEGIATAN KELOMPOK
Sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Peternakan Provinsi/Kab/Kota
Nomor……....tanggal……...tentang Penetapan Kelompok dan Lokasi Penerima
Dana Bantuan Sosial Pengembangan Budidaya Sapi Perah tahun 2011, dengan
ini kami mengajukan permohonan dana sebesar Rp.……......(……....rupiah)
sesuai Rencana Usaha Kelompok (RUK) terlampir dengan rekapitulasi kegiatan
sebagai berikut:
No Kegiatan Jumlah Unit Jumlah (Rupiah)
1
2
dst
T o t a l
Selanjutnya kegiatan tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan Surat
Perjanjian Kerjasama Nomor…….tanggal…..Dana bantuan sosial kelompok
tersebut agar dipindah bukukan ke rekening Kelompok Ternak…………….…yang
…………….., …………………… 2010
Kepada Yth :
Kuasa Pengguna Anggaran Dinas
Peternakan Provinsi/Kab/Kota
Di …………………..………..
40
berkedudukan di
Desa/Kelurahan………………………Kecamatan….Kabupaten/Kota……Provinsi….pa
daBank……Cabang.…..…………..Dengan Nomor Rekening…………………
MENYETUJUI Ketua Kelompok
Tim Teknis Kabupaten/Kota
………………………………
NIP. ………………………..
……………………….
MENGETAHUI/MENYETUJUI,
Pejabat Pembuat Komitmen
Dinas Peternakan Provinsi/Kabupaten/Kota
…………………………………
NIP. ....................
41
Lampiran – 4
Format Berita Acara
BERITA ACARA PEMBAYARAN
Pada hari ini .......... tanggal ............... Bulan ................... Tahun
................., kami yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Nama : ....................................
Jabatan : Pejabat Pembuat Komitmen Dinas Peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota
Alamat : ....................................
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
2. Nama : ..........................................................
Jabatan : Ketua Kelompok .................................
Alamat : .........................................................
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
PIHAK PERTAMA telah membayar Dana Bantuan Sosial Pengembangan
Budidaya Sapi Perah APBN tahun 2011 kepada PIHAK KEDUA sebesar Rp.
.................... (.........................rupiah) sesuai dengan Rencana Usaha
Kelompok dan PIHAK KEDUA menerima pembayaran dari PIHAK PERTAMA
sejumlah tersebut diatas.
Demikian Berita Acara Pembayaran ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
PIHAK KEDUA PIHAK PERTAMA
Ketua Kelompok
.....................................
Pejabat Pembuat Komitmen
Dinas Peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota
...............................................
..........................................
NIP. ........................
42
Lampiran - 5
Format Kwitansi
NPWP :
MAK :
T.A : 2010
KWITANSI
No: ………………………
Sudah Terima dari : Kuasa Pengguna Anggaran Dinas Peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota
Uang sebanyak : Rp. .............................
Untuk Pembayaran : Pengembangan Budidaya Sapi Perah Dana
Bantuan Sosial APBN Tahun 2011 kepada
Kelompok Tani Ternak di
Desa..........Kecamatan............Kabupaten...........
..Provinsi .................Sesuai Surat Perjanjian
Kerjasama No..............tanggal............... 2011
Terbilang : ................................(dengan huruf)
.................., ...................... 2011
Mengetahui/Menyetujui, Yang menerima,
Pejabat Pembuat Komitmen Ketua Kelompok
Dinas Peternakan
Provinsi/Kabupaten/Kota
.....................................
..................................
NIP. ...................
Setuju dibayar, Tanggal ......................
Kuasa Pengguna Anggaran, Bendaharawan,
.....................................
NIP. ....................
.......................................
NIP. .................
43
Lampiran – 6
Format Outline Laporan Tahunan
I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
2. Tujuan
3. Sasaran
II. PELAKSANAAN KEGIATAN
1. Realisasi Fisik Keuangan (sesuai RUK)
2. Model Pengembangan Usaha Budidaya Sapi Perah
(1) Perkembangan Ternak Sapi Perah
(2) Usaha produksi susu
(3) Usaha pengolahan susu
(4) Usaha pengemukan pejantan Sapi perah
3. Penerapan Teknologi (Pilih sesuai yang dilaksanakan)
(1) Teknologi Reproduksi
(2) Teknologi Pakan
(3) Teknologi Pengolahan Limbah (ternak/tanaman)
III. PERMASALAHAN DAN UPAYA TINDAK LANJUT
1. Permasalahan
2. Upaya Tindak lanjut
IV. PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
44
Lampiran 7 :
Format Laporan Bulanan
LAPORAN KEMAJUAN KEGIATAN
PENGUATAN USAHA PENGEMBANGAN BUDIDAYA SAPI PERAH
Bulan :
1. Identitas kelompok
Nama : …………………………………………………...
Nama Ketua Kel : …………………………………………………...
Alamat : …………………………………………………...
Kabupaten : …………………………………………………...
Provinsi : …………………………………………………...
2. Profil Usaha Kelompok
Kegiatan Utama : ………………………………………………….
Produk Utama : ………………………………………………….
Produksi : ………………………………………………….
Potensi Sumberdaya : ………………………………………………….
Potensi Usaha : ………………………………………………….
3. Kegiatan Pengembangan usaha budidaya Sapi perah pada kelompok
Kegiatan
Tahapan
Kegiatan yang
dilaksanakan
Jumlah/
Volume
Biaya/
Harga
Keterangan
Pengadaan
Prasarana
dan
sarana
…………………..
…………………..
…………………..
…………………..
…………… …………………..
…………………..
…………………..
…………… …………………..
…………………..
…………………..
..….…………., …………. 2011
Ketua Kelompok,
(……………..………………..….)
45
Lampiran 8 :
Format Laporan Triwulan
LAPORAN KEMAJUAN KEGIATAN
PENGUATAN USAHA PENGEMBANGAN BUDIDAYA SAPI PERAH
Triwulan :
1. Identitas Kelompok
Nama : …………………………………………………...
Nama ketua kel : …………………………………………………...
Alamat : …………………………………………………...
Kabupaten : …………………………………………………...
Provinsi : …………………………………………………...
2. Profil Usaha Kelompok
Kegiatan Utama : ………………………………………………….
Produk Utama : ………………………………………………….
Produksi : ………………………………………………….
Potensi Sumberdaya : ………………………………………………….
Potensi Usaha : ………………………………………………….
3. Kegiatan Pengembangan usaha budidaya Sapi perah pada kelompok
Kegiatan
Tahapan
Kegiatan yang
dilaksanakan
Jumlah/
Volume
Biaya/
Harga
Keterangan
Pengadaan
Prasarana
dan
sarana
…………………..
…………………..
…………………..
…………………..
…………… …………………..
…………………..
…………………..
…………… …………………..
…………………..
…………………..
..….…………., …………. 2011
Ketua Kelompok,
(……………..………………..….)

PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN SAPI POTONG


Kumpulan Pemikiran
22
PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN
SAPI POTONG
Perbibitan
esulitan dalam memperoleh bibit sapi potong lokal secara kuantitas maupun kualitas secara berkelanjutan merupakan masalah utama yang harus segera diselesaikan. Kesulitan ini tampaknya lebih disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait. Mencari permasalahan tentang kesulitan tersebut sudah banyak dilakukan dan sering pula didiskusikan, tapi aksi untuk menyelesaikan kesulitan tersebut kurang/ belum dilakukan. Oleh karena itu, secara umum beberapa kebijakan yang seharusnya segera diimplementasikan dalam kegiatan aksi mutlak diperlukan.
Beberapa upaya pengembangan usaha perbibitan adalah:
1. Penentuan jenis ternak sapi.
Di Indonesia, berbagai jenis ternak sapi yang ada diklasifikan menjadi dua kelompok besar (Simanjuntak, 1999). Seluruh sapi di dalam masing-masing kelompok berpotensi dijadikan sebagai ternak bibit yang tentu saja didasarkan pada berbagai faktor. Pertama, kelompok sapi asli yang meliputi: sapi Bali, sapi Madura, sapi Sumba Ongole (SO), sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Hissar. Kedua, kelompok sapi persilangan dengan bangsa sapi import yang meliputi: sapi Simmental, sapi Limousin, sapi Angus, sapi Brahman, sapi Brangus.
Pada umumnya, keunggulan yang dimilik oleh sapi lokal Indonesia adalah: daya adaptasi tinggi; tingkat kesuburan tinggi, persentase karkas lebih tinggi, dapat digunakan sebagai tenaga kerja; dan daya tahan terhadap caplak. Adapun sapi persilangan biasanya unggul dalam hal: pertumbuhan bobot badan yang tinggi; dan mempunyai kualitas daging lebih baik. Keduanya juga memiliki kelemahan. Kerugian bila menggunakan sapi lokal sebagai ternak bibit
K
Dr. Ir. Muladno, MSA
adalah: kematian pedet relatif tinggi; masih memperlihatkan sifat liar, rentan terhadap penyakit tertentu; badannya kecil; dan pertambahan bobot badan relatif rendah. Namun bila menggunakan ternak bibit import, kerugiannya meliputi: tidak tahan terhadap kondisi lingkungan jelek dan rentan terhadap berbagai penyakit yang ada di daerah tropis.
Yang perlu diperhatikan dalam penentuan jenis ternak tidak hanya berdasarkan sifat-sifat kuantitatif yang menguntungkan saja tetapi juga dipertimbangkan sifat kualitatifnya seperti warna sapi.
2. Perbaikan mutu ternak bibit
Untuk mendapatkan ternak bibit yang baik, upaya meningkatkan mutu ternak bibit khususnya bila menggunakan ternak lokal perlu dilakukan. Di dalam program pemuliaan, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu tersebut, yaitu: seleksi dan persilangan. Pendekatan pertama (seleksi) untuk sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis (seperti pertambahan berat badan, efisiensi penggunaan pakan, dan kualitas karkas) harus dilakukan di suatu wilayah yang populasi sapinya sejenis dan dalam jumlah banyak. Kondisi semacam ini harus dicapai untuk memperoleh tingkat keberhasilan yang tinggi dalam sistem seleksi, karena semakin tinggi jumlah ternak dalam suatu populasi, intensitas seleksinya juga semakin kuat sehingga ternak yang terseleksi benar-benar bermutu tinggi. Seleksi juga penting diterapkan dalam konteks pemilihan ternak betina pengganti (replacement stock) bagi ternak betina berkualitas buruk dan atau ternak betina tua. Pendekatan kedua (persilangan) akan sangat efektif dilakukan melalui perkawinan antara ternak lokal yang terseleksi untuk sifat-sifat kuantititaf yang diinginkan dengan ternak import yang juga telah diseleksi berdasarkan sifat yang diinginkan. Ini dapat dilakukan melalui perkawainan alam, tetapi akan lebih efisien dengan memanfaatkan teknik inseminasi buatan. Walaupun aplikasi bio-teknologi (baik reproduksi maupun rekayasa genetik) dalam pening-katan produktivitas ternak tampak semakin menjajikan, tingginya biaya pengoperasian masih menjadi kendala untuk menggunakan teknologi tersebut. Dalam banyak hal, penerapan bioteknologi masih sangat memerlukan peran dan bantuan pemerintah pusat.
Program pemuliaan tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan sistem pencatatan yang tertib, sistematis, dan berkesinambungan. Sistem pencatatan difokuskan pada sifat-sifat kuantitatif penting dari ternak dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan secara mudah oleh peternak, pegawai pemerintah dan siapapun yang dilibatkan. Keterlibatan asosiasi, kelompok peternak, perguruan tinggi atau lembaga penelitian sangat diperlukan untuk keberhasilan dalam pencatatan tersebut.
Kumpulan Pemikiran
3. Perbanyakan jumlah ternak bibit
Penyediaan ternak bibit lokal sebagai populasi dasar dapat dipenuhi melalui pengambilan ternak dari berbagai wilayah yang dikenal sebagai kantong-kantong ternak berpopulasi tinggi atau diperoleh melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik pemerintah seperti Balai Inseminasi Buatan (BIB) Singosari dan BIB Lembang. Dari ketersediaan ternak pilihan ini, kemudian dilakukan program pemuliaan di suatu kawasan yang melibatkan petani peternak dalam suatu sistem pembibitan Village Breeding Center (VBC). Sistem ini akan lebih efektif apabila dalam pelaksanaannya dikelola melalui program kemitraan antara swasta (sebagai pemodal), peternak (sebagai pelak-sana) dan pemerintah/perguruan tinggi/lembaga penelitian/asosiasi (sebagai pembina). Program semacam ini juga diharapkan agar seluruh ternak bibit yang dihasilkan dari program pemeuliaan ini dapat secara berkesinambungan digunakan sebagai bahan dasar untuk perbanyakan sehingga pemenuhan kebutuhan ternak bibit yang berkualitas secara terus menerus dapat terjamin.
4. Peredaran ternak bibit
Peredaran ini mencakup ternak bibit jantan maupun betina. Namun, karena penyediaan ternak bibit jantan dapat dilakukan melalui BIB Lembang atau BIB Singosari, sistem peredaran ternak bibit perlu difokuskan untuk ternak betina. Ternak bibit betina di sini didefinisikan sebagai ternak betina yang dipelihara hanya untuk menghasilkan pedet beberapa kali sampai betina tersebut dinyatakan tidak berfungsi lagi secara reproduktif. Dengan demikian, pola pengelolaannya mirip atau harus disamakan dengan pola yang digunakan pada ternak bibit jantan. Sistem pencatatan ternak ternak bibit betina, sertifikasi mutu, maupun standard minimal penampilannya perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian atau asosiasi. Dengan dikembangkannya sistem tersebut, harga ternak bibit betina diharapkan akan menjadi lebih tinggi daripada ternak betina potong. Tanpa indikator kuantitatif yang jelas terhadap penampilan atau kinerja ternak bibit betina, upaya menghargai ternak bibit betina lebih daripada ternak betina potong akan sia-sia.
Untuk itu, peredaran ternak bibit betina harus terkontrol. Informasi tentang jumlah dan jenis ternak yang diedarkan, lokasi penyebaran (luar kota atau luar pulau atau bahkan luar negeri) harus tercatat dengan baik; dan yang lebih penting perlu disusunnya pedoman pengedaran ternak bibit betina oleh pemerintah bersama dengan lembaga independen lainnya yang peduli terhadap kesinambungan pengadaan ternak bibit betina.
Dr. Ir. Muladno, MSA
5. Pembinaan dan pengawasan mutu
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa program pemerintah melalui berbagai proyek memang memberikan hasil yang cukup menggembirakan tetapi masih perlu dioptimalkan. Adanya misi sosial dan konsep pemerataan pembangunan yang dipikul pemerintah sedikit banyak mempengaruhi pelaksanaan berbagai program pemerintah selama ini. Oleh karena itu, peran sektor swasta perlu lebih digalakkan dalam upaya membangunan industri ternak bibit. Pemerintah dapat lebih berperan sebagai pengawas atau pembina yang dengan otoritas-nya mengontrol mutu ternak bibit. Namun, akan lebih efektif apabila pengawasan mutu ternak bibit melibatkan peran swasta juga. Sertifikasi yang berkaitan dengan upaya pengawasan mutu dapat dilakukan swasta atas sepengetahuan/seijin pemerintah.
Skala Usaha Peternakan Sapi Potong
Lebih dari 90% peternak sapi potong di Indonesia adalah peternak rakyat yang merupakan usaha sambilan dan bukan sebagai usaha pokok. Ciri khas dari peternakan rakyat setidaknya adalah: (a) skala usaha relatif kecil (b) merupakan usaha rumah tangga (c) cara memeliharanya masih tradisional; dan seringkali ternak digunakan sebagai sumber tenaga kerja. Artinya peternak tidak mengangap penting usaha ini dan tidak mengharap-kan sebagai ternak penghasil daging. Dengan demikian, kualitas sapi yang dipelihara maupun kualitas daging yang dihasilkan tentu saja sangat diragukan. Upaya meningkatkan kualitas ternak maupun dagingnya sangat sulit dicapai karena sebagian besar masyarakatpun tidak menuntut standard tinggi tentang kualitas daging. Akhirnya, hal ini seperti lingkaran setan. Di satu sisi, peternak didorong untuk memelihara sapi secara lebih modern sehingga usaha peternakan dapat menjadi penghasilan pokoknya, di sisi lain masyarakat berharap memperoleh daging sapi dengan harga murah tanpa mempertimbangkan kualitasnya.
Namun demikian, apabila pola kebijakan pengembangan sapi potong masih berorientasi pada pola peternakan rakyat dengan ciri-ciri tersebut di atas, sulit untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dengan mengandalkan dari ternak lokal. Skala usaha peternakan harus ditingkatkan sampai jumlah minimum yang hasilnya layak untuk digunakan sebagai usaha pokok kehidupan peternak. Ini akan dapat dicapai dengan adanya dukungan modal, sistem kelembagaan dengan pola kerjasama kemitraan, dan input teknologi. Dengan demikian, usaha peternakan dapat dikelola secara lebih profesional dengan tetap berbasis pada keterlibatan masyarakat sehingga akan menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai industri peternakan modern yang menghasilkan produk berkualitas.
Kumpulan Pemikiran
Peternak yang saat ini mengembangkan usaha peternakan rakyat dirangsang untuk meningkatkan skala usahanya, dengan campur tangan pemerintah atau swasta dalam hal penyediaan perangkat pendukungnya. Dalam hal ini kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, perbankan dan asosiasi menjadi sangat penting untuk mencapai keberhasilannya. Namun satu hal terpenting adalah kualitas peternak itu sendiri. Perlu seleksi yang sangat ketat terhadap peternak yang akan ditingkatkan skala usahanya. Untuk ini perlu disiapkan sistem seleksi terhadap peternak, yang dapat saja melibatkan perguruan tinggi atau asosiasi untuk merancangnya.
Karena peternak menjadi subjek utama terhadap keberhasilan pengembangan industri peternakan sapi potong, peningkatan kualitas peternak mutlak harus dilakukan. Peningkatan keahlian dan keterampilan peternak harus diprogramkan secara sistematis dan terarah yang mencakup semua aspek manajemen on farm sejak fase pra produksi, produksi maupun masa panen, serta aspek pengelolaan produk pasca panen dan pemasaran. Sistem agroindustri dalam usaha ternak potong harus dikuasai secara baik oleh peternak sebagai pelaku utama.
Peningkatan Interaksi Antara Peternak
dan Lembaga Penelitian
Hampir semua menyadari bahwa selama ini industri peternakan dan lembaga penelitian (termasuk perguruan tinggi) tidak berjalan secara beriringan. Praktisi peternakan (peternak) dan peneliti bidang peternakan berjalan menurut relnya masing-masing. Peneliti melakukan suatu penelitian menurut kepakarannya yang bersifat ilmiah tetapi tidakmenyentuh apa yang dibutuhkan peternak, sedangkan peternak sendiri enggan untuk berkomuni-kasi dengan peneliti karena perbedaan latar belakang pendidikan. Ditambah dengan masalah kultur masyarakat Indonesia yang cenderung mengelom-pok pada masing-masing komunitasnya, semakin dalam jurang pemisah antara peternak dan peneliti
Fenomena tersebut, yang terasa semakin menghilang sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi, harus dieliminir secara menyeluruh. Perpaduan antara potensi peneliti dengan latar belakang pendidikan formal tinggi (berwawasan keilmuan luas) dengan potensi peternak yang berlatar belakang pengalaman praktis pada lingkungan khas Indonesia akan menghasilkan teknologi tepat guna yang benar benar aplikatif bagi upaya pengembangan industri peternakan sapi potong di Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kekhususan pada Jawa Barat sangatlah beralasan karena di propinsi ini terdapat tiga perguruan tinggi negeri ternama masing-masing Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran; dan puluhan lembaga penelitian yang bergerak di bidang pertanian dalam
Dr. Ir. Muladno, MSA
arti luas (termasuk peternakan). Balai Inseminasi Buatan Lembang, Balai Embrio Transfer Cipelang, Balai Penelitian ternak Ciawi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan masih banyak lagi.
Semakin gencarnya promosi pemerintah tentang pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga mendorong peneliti untuk lebih memfokus-kan penelitiannya pada hal-hal praktis yang benar-benar dibutuhkan masyarakat pengguna. Penelitian yang dikerjakan dan dihasilkannya bersifat aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini tentu saja membuka interaksi yang lebih intensif antara peneliti di lembaga penelitian/ perguruan tinggi) dengan peternak. Keduanya (peneliti dan peternak) harus saling proaktif untuk meciptakan temuan yang sesuai kebutuhan di lapangan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi hasil penelitian yang berakhir di rak buku atau perpustakaan, tetapi akan dihasilkan teknologi yang aplikatif bagi masyarakat pengguna.
Pewilayahan Perbibitan
Penampilan suatu ternak merupakan representasi dari potensi genetiknya apabila seluruh faktor non-genetiknya dibuat seragam. Dengan demikian perbedaan penampilan antar ternak di dalam populasi juga merupakan representasi perbedaan genetik. Oleh karena itu, untuk keberhasilan pengembangan ternak bibit, penentuan wilayah yang dapat memenuhi syarat bagi pertumbuhan optimal ternak sapi potong dalam suatu lingkungan yang relatif seragam menjadi sangat penting.
Dalam konteks pengembangan ternak bibit di Jawa Barat, informasi tentang potensi wilayah yang memenuhi kriteria kestabilan faktor-faktor non-genetiknya (atau dapat dikatakn sebagai faktor lingkungan) meliputi daya dukung lahan, kecukupan ketersediaan pakan secara berkelanjutan, sumberdaya peternak, dan kultur masyarakatnya.
a. Daya dukung lahan pengembangan ternak bibit lebih dititik-bertakan pada kondisi alam dan lokasi peternakan. Topografi lahan yang menyangkut posisinya dari permukaan laut terkait dengan suhu, kelembaban udara dan jenis tanaman alam yang tumbuh secara alami. Selain itu jenis permukaan tanah (berbukit, bergunung, dataran rendah, dataran tinggi) perlu mendapat perhatian. Berkaitan dengan lokasi pemeliharaan, yang terpenting adalah bahwa lokasi yang akan digunakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat setempat; terjaminnya sistem pengelolaan limbah sehingga tak mencemari lingkungan; dan tidak bertentangan dengan tata ruang daerah. tidakdifokuskan kepada jenis tanah yang layak untuk pemeliharaan ternak atau dapat merupakan suatu luasan lahan yang tersedia penyakit ternak yang mungkin endemik di daerah Jawa Barat
Kumpulan Pemikiran
dan karakteristik geografi wilayahnya harus tersedia sehingga investor merasa yakin dan optimis akan keberhasilannya dalam menanam investasinya di industri perbibitan sapi potong.
b. Ketersediaan pakan harus ditinjau dari aspek kuantitas dan kualitas. Pakan merupakan salah satu faktor kunci untuk keberhasilan pengembangan ternak sapi bibit. Beberapa hal yang terkait dengan kecukupan pakan adalah: jenis pakan hijauan yang dapat ditanam di wilayah pengembangan; jumlah pakan yang dibutuhkan per ekor sapi harus tersedia sepanjang tahun. Teknologi penyimpanan pakan perlu dikembangkan untuk mengantisipasi kemarau panjang yang sering terjadi; pakan konsentrat yang bahan utamanya biasanya by-product pertanian menuntut agar wilayah pengembangan seharusnya berdekatan dengan wilayah pertanian.
c. Sumberdaya peternak, tidak dapat dihindari, merupakan subjek utama atas keberhasilan pengembangan usaha ternak bibit. Dalam melakukan pembinaan terhadap peternak atau rekrutmen peternak baru yang dipersiapkan menjadi pelaku-pelaku industri peternakan, tingkat keterampilan, motivasi tinggi untuk mengembangkan/meningkatkan produktivitas ternak serta pengetahuan tentang budidaya peternakan seharusnya menjadi acuan dalam membuat kriteria penentuan peternak yang perlu dibina atau peternak baru yang akan disiapkan menjadi pelaku industri peternakan.
d. Kultur masyarakat merupakan faktor penting yang harus dipertimbang-kan dalam menentukan wilayah pengembangan ternak sapi bibit. Walaupun dalam hal ini ada kecenderungan tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat Jawa Barat sebagaimana biasanya terjadi pada babi, kajian dan evaluasi terhadap kultur masyarakat tetap perlu dilakukan untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan.
e. Berkaitan dengan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit ternak sapi potong, penentuan wilayah yang bebas penyakit (khususnya yang menular) harus diprioritaskan untuk keberhasilan usaha perbibitan sapi.
Dukungan Lembaga Keuangan/Perbankan
Dalam pengembangan industri peternakan sapi potong, modal merupakan satu sumberdaya penting. Apalagi untuk investasi dalam usaha perbibitan sapi potong serta pembukaan kawasan baru untuk agroindustri sapi potong. Kebijakan khusus dalam permodalan harus diberlakukan untuk merangsang investor mau berinvestasi di usaha perbibitan yang tampaknya kurang menarik dibanding usaha penggemukan karena biaya proses produksi yang lebih mahal. Tidak seperti usaha penggemukan yang hanya
Dr. Ir. Muladno, MSA
memerlukan proses produksi tidak lebih dari tiga bulan, usaha perbibitan memerlukan waktu produksi yang lebih lama dengan pengelolaan yang lebih kompleks. Dalam upaya membuka kawasan baru usaha sapi potong, pola kerjasama inti-plasma yang selama ini juga berjalan untuk usaha ternak unggas merupakan model pengembangan yang sesuai bila dikaitkan juga dengan masalah permodalan. Petani peternak sebagai plasma dilibatkan dalam kepemilikan saham dalam perusahaan inti. Besarnya saham yang dimiliki didasarkan pada kontribusi awalnya dalam membuka kawasan baru usaha tersebut. Pola pengembangan yang melibatkan petani peternak terampil dan bermotivasi tinggi akan, bila berhasil, akan memacu pembentukan atau pembangunan idustri pendukung lain seperti industri pakan ternak, rumah potong hewan, fasilitas pemasaran, infrastruktur serta berbagai fasilitas lain yang memudahkan interaksi antara produsen dan konsumen produk usaha sapi potong.
Integrasi antar Subsistem Agribisnis Sapi Potong
Sebagaimana telah disinggung di depan, untuk kondisi wilayah dan kultur masyarakat Indonesia, industri peternakan sapi potong (khususnya perbibitan) perlu melibatkan dan mengaitkan kerjasama dengan petani peternakan rakyat dimana keberadaan dan peran peternak rakyat merupa-kan satu subsistem dalam suatu sistem agribisnis sapi potong. Dalam hal ini peran peternak hanya ditekankan pada pengelolaan secara teknis dalam budidaya, dengan pembinaan dan pengawasan dari perusahaan inti. Di lain pihak, perusahaan inti yang juga merupakan salah satu sub-sistem lain dalam satu mata rantai agroindustri, lebih menitik beratkan pada pengen-dalian mutu, yang mana hal ini membutuhkan manajemen perusahaan yang kuat dan profesional, penerapan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi usaha yang tinggi. Untuk membantu kegiatan perusahaan inti, susb-sistem lain juga harus dibangun yang bergerak sebagai pemasok berbagai kebutuhan dalam proses produksi mulai dari pasokan pakan, pasokan bakalan, pasokan teknologi, jasa transportasi dan lain lain. Dalam membangun sub-sistem ini (pasokan berbagai faktor produksi), petani peternak dapat dilibatkan sebagaimana yang terjadi di dalam pola PIR selama ini.
Tanpa harus meninggalkan keterlibatan petani peternak, upaya membangun industri peternakan sapi potong yang sarat modal dan sarat teknologi juga perlu dipikirkan. Apabila teknologi feedlot telah lebih dahulu dikuasai atas kerjasama dengan pihak luar negeri seperti Australia, perlu dipikirkan juga masukan teknologi perbibitan dengan pola kerjasama dengan pihak luar negeri juga. Hal ini dalam rangka mempercepat terwujudnya industri peternakan sapi potong yang tangguh.
Kumpulan Pemikiran
Yang perlu dipertimbangkan juga dalam agribisnis peternakan sapi potong adalah masalah pemasaran. Ini harus dikaitkan dengan proses pengolahan dan pengendalian mutu daging sapi. Sedikitnya ada tiga hal pokok yang perlu menjadi perhatian, yaitu: (a) pola konsumsi pasar daging sapi di dalam negeri; (b) kebutuhan noma standard daging sapi untuk memenuhi pasaran daging berkualitas di dalam dan di luar negeri; (c) kebutuhan infrastruktur pelengkap untuk memenuhi norma-norma standard daging berkualitas.

Edisi April 2006

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan
Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk
Meningkatkan Produktivitasnya
(ULASAN)
A.Yani & B.P. Purwanto
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680
a_yanicirebon@yahoo.co.id.
(Diterima 25-08-2005; disetujui 10-03-2006)
ABSTRACT
Most of Holstein in Indonesia were imported from European countries which have
temperate climate (13-25oC). If those Holstein were kept under high temperature and high
humidity and exposed to direct solar radiation, the cattles would be experienced with heat
stress, resulted in decreasing appetite, increased water intake, decreased metabolism,
increased catabolism, increased heat loss through evaporation, decreased hormone
concentration in blood, increased body temperature, increased respiration and heart rate
and behavioral changes. To reduce the heat stress can be achieved by environment
modification, such as type of animal house construction, type of roof material selected for
animal house and determination of animal housing height. The improvement of
environmental condition was gained for maintaining the animal heat balance in steady
state, due to reducing the thermoregulatory responses (i.e heart rate, respiration rate and
mean body temperature). Controlling the heat stressed animals to lower thermoregulatory
activities will improve their productivity.
Key words : Holstein, physiological responses, heat stress, micro-climate, environmental
modification
PENDAHULUAN
Penampilan produksi ternak dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain faktor
keturunan (genetic), pakan, pengelolaan,
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan
penyakit serta faktor lingkungan lainnya. Salah
satu faktor lingkungan yang cukup dominan
dalam mempengaruhi produktivitas ternak
adalah iklim mikro. Iklim mikro di suatu tempat
yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak
membuat potensi genetik seekor ternak tidak
dapat ditampilkan secara optimal.
Ada empat unsur iklim mikro yang dapat
mempengaruhi produktivitas ternak secara
langsung yaitu : suhu, kelembaban udara, radiasi
dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur
lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan
mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak
langsung. Interaksi keempat unsur iklim mikro
35
Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 Vol. 29 No. 1
ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No:56/DIKTI/Kep/2005
Edisi April 2006
tersebut dapat menghasilkan suatu indeks
dengan pengaruh yang berbeda terhadap ternak.
Berdasarkan hasil pendataan, sebagian
besar sapi-sapi perah yang ada di Indonesia
adalah sapi bangsa Fries Holland (FH) yang
didatangkan dari negara-negara Eropa yang
memiliki iklim sedang (temperate) dengan
kisaran suhu termonetral rendah (13 – 25oC).
Berdasarkan kondisi iklim asal tersebut, sapi
perah FH sangat peka terhadap perubahan suhu
tinggi. Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi
yang memiliki suhu tinggi, maka sapi-sapi
tersebut akan mengalami cekaman panas terus
menerus yang berakibat pada menurunnya
produktivitas sapi FH. Cekaman panas yang
diterima oleh sapi FH sebenarnya dapat
direduksi oleh angin dengan kecepatan tertentu.
Usaha lain yang perlu dilakukan untuk
mereduksi cekaman panas sapi FH adalah
modifikasi lingkungan ternak melalui
pemberian naungan, pemilihan bahan atap dan
pengaturan ketinggian kandang. Tulisan ini
berisi ulasan hasil-hasil penelitian mengenai
“Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Respons
Fisiologis Sapi FH serta Modifikasi Lingkungan
sebagai Upaya Mempertahankan Produktivitas
Sapi FH”.
PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP
RESPONS FISIOLOGIS SAPI
PERANAKAN FRIES
HOLLAND (FH)
Besarnya penambahan panas yang berasal
dari radiasi matahari di daerah tropis dapat
mencapai empat kali lebih besar dari produksi
panas hasil metabolisme (Thwaites, 1985).
Besarnya penambahan panas ini tergantung
pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran
tubuh seekor ternak, akan mendapatkan
penambahan panas yang lebih tinggi dari ternak
yang lebih besar ukuran tubuhnya, seperti
domba vs sapi.
Perolehan panas dari luar tubuh (heat
gain) akan menambah beban panas bagi ternak,
bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman.
Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh
(heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari
suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas
tubuh ternak dapat terjadi secara sensible
melalui mekanisme radiasi, konduksi dan
konveksi. Jalur utama pelepasan panas melalui
mekanisme evaporative heat loss dengan jalan
melakukan pertukaran panas melalui
permukaan kulit (sweating) atau melalui
pertukaran panas di sepanjang saluran
pernapasan (panting) (Purwanto, 1993) dan
sebagian melalui feses dan urin (McDowell,
1972). Unsur iklim mikro yang dapat
mempengaruhi produksi panas dan pelepasan
panas pada sapi FH adalah suhu dan
kelembaban udara, radiasi matahari dan
kecepatan angin.
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu dan kelembaban udara merupakan
dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi
sapi perah, karena dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan panas dalam tubuh
ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi
dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay,
1982). McDowell (1974) menyatakan bahwa
untuk kehidupan dan produksinya, ternak
memerlukan suhu lingkungan yang optimum.
Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa
berkisar 13 – 18oC (McDowell, 1972); 4 – 25oC
(Yousef, 1985), 5 – 25oC (Jones & Stallings,
1999). Hubungan besaran suhu dan kelembaban
udara atau biasa disebut “Temperature Humidity
Index (THI)” yang dapat mempengaruhi tingkat
stres sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Sapi FH menunjukkan penampilan
produksi terbaik apabila ditempatkan pada suhu
lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55%.
Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan
melakukan penyesuaian secara fisiologis dan
secara tingkah laku (behaviour). Usaha
peternakan sapi FH di Indonesia, pada
umumnya dilakukan pada daerah yang memiliki
36
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Edisi April 2006
ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan
laut, dengan tujuan untuk penyesuaian
lingkungan.
Suhu udara dan kelembaban harian di
Indonesia umumnya tinggi, yaitu berkisar antara
24 – 34oC dan kelembaban 60 - 90%. Hal
tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat
produktivitas sapi FH. Pada suhu dan
kelembaban tersebut, proses penguapan dari
tubuh sapi FH akan terhambat sehingga
mengalami cekaman panas. Pengaruh yang
timbul pada sapi FH akibat cekaman panas
adalah : 1) penurunan nafsu makan; 2)
peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan
metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4)
peningkatan pelepasan panas melalui
penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon
dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh,
respirasi dan denyut jantung (McDowell, 1972);
dan 7) perubahan tingkah laku (Ingram &
Dauncey, 1985), meningkatnya intensitas
berteduh sapi (Combs, 1996). Respons fisiologis
sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada
Tabel 2.
Pada malam hari, suhu rektal akan terus
mengalami penurunan, sedangkan pada pagi
sampai sore suhu rektal mengalami kenaikan.
Perubahan denyut jantung dan frekuensi
pernapasan sapi FH dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Denyut jantung sapi FH yang sehat
pada daerah nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah
60 – 70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 –
30 kali/menit (Ensminger, 1971). Perubahan
denyut jantung dan fekuensi pernapasan sapi FH
(tiga ekor sapi dara peranakan FH dengan bobot
rata-rata 195 kg) di Darmaga dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2 dengan kondisi suhu
pengamatan pada Gambar 3 (Prayitno, 1999).
Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu
yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut
jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi
untuk mengurangi atau melepaskan panas yang
diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan
denyut jantung merupakan respons dari tubuh
ternak untuk menyebarkan panas yang diterima
ke dalam organ-organ yang lebih dingin.
Pernapasan merupakan respons tubuh ternak
untuk membuang atau mengganti panas dengan
udara di sekitarnya. Jika kedua respon tersebut
tidak berhasil mengurangi tambahan panas dari
luar tubuh ternak, maka suhu organ tubuh ternak
akan meningkat sehingga ternak mengalami
cekaman panas (Anderson, 1983). Cekaman
panas yang terus berlangsung pada ternak akan
Tabel 1. Indeks suhu dan kelembaban relatif untuk sapi perah
Sumber : Wierama (1990)
Kelembaban relatif (%)
0C 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
23,39 72 72 73 73 74 74 75 75
26,67 72 72 73 73 74 74 75 76 76 77 78 78 79 79 80
29,44 72 72 73 74 75 75 76 77 78 78 79 80 81 81 82 83 84 84 85
32,22 72 73 74 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84 85 86 86 87 88 89 90
35,00 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
37,78 77 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 98 99
40,56 79 80 82 83 84 86 87 88 89 91 92 93 95 96 97
43,33 81 83 84 86 87 89 90 91 93 94 96 97 Stres Ringan
46,11 84 85 87 88 90 91 93 95 96 97 Stres Sedang
48,89 88 88 89 91 93 94 96 98 Stres Berat
37
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
berdampak pada peningkatan konsumsi air
minum, penurunan produksi susu, peningkatan
volume urine, dan penurunan konsumsi pakan
(Tabel 3). Cekaman panas dapat direduksi
dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui
penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan
tubuh (Shibata, 1996). Hasil simulasi
menunjukkan bahwa penurunan suhu
lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5oC
dapat meningkatkan produksi susu sapi FH
sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi
45 kg/hari (Berman, 2005).
Tabel 2. Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH
Suhu lingkungan
Parameter Sumber
Netral Cekaman
Suhu rektal (oC) 1
2
38,7
38,8
40,0
39,8
Denyut jantung (kali per menit) 1
2
77,0
64,0
79,0
67,0
Pernapasan (kali per menit) 1
2
48,0
31,0
87,0
75,0
Gambar 1. Pola frekuensi pernafasan pada kondisi lingkungan kontrol (♦), lingkungan B (■) dan
lingkungan C (▲)
Keterangan:
Lingkungan kontrol = Pada siang hari tanpa pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan,
Lingkungan B = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak dikeluarkan,
Lingkungan C = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan.
Waktu pengamatan (Pukul)
Frekuensi pernapasan (kali/menit)
38
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Edisi April 2006 39
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Keterangan:
Lingkungan kontrol = Pada siang hari tanpa pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan,
Lingkungan B = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak dikeluarkan,
Lingkungan C = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan.
Gambar 3. Suhu lingkungan pengamatan di dalam (♦) dan di luar (■) kandang
Gambar 2. Pola denyut jantung pada kondisi lingkungan kontrol (♦), lingkungan B (■) dan lingkungan
C (▲)
Waktu pengamatan (Pukul)
Edisi April 2006
Radiasi Matahari
Radiasi adalah pemindahan panas suatu
benda ke benda lain tanpa bersentuhan. Arus
panas radiasi mengalir tanpa bantuan bahan
pengantar atau media dan dapat melewati ruang
hampa udara (Curtis, 1983; Blaxter, 1989).
Radiasi matahari secara langsung terhadap sapi
FH mengakibatkan sapi FH tidak nyaman,
sehingga menimbulkan efek negatif terutama
pada siang hari. Usaha yang umum dilakukan
oleh peternak dalam mengurangi efek negatif
radiasi langsung ini adalah dengan memberikan
naungan.
Sapi FH di daerah Darmaga, Bogor, mulai
mencari tempat berteduh pada saat radiasi
matahari di atas 450 kkal/m2/jam. Pada kondisi
ini sapi FH sudah mengalami cekaman panas,
sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu
tubuhnya, ternak tersebut mencari naungan.
Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari
bisa mencapai 77,38% (Rizki, 1996). Kondisi
ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan
mengalami cekaman panas maksimal dari
radiasi matahari pada pukul 13.00 – 14.00
dimana pada waktu tersebut nilai intensitas
radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/
jam.
Kondisi cekaman panas akibat radiasi
matahari terhadap sapi FH juga dipengaruhi
oleh warna kulitnya. Yeates (1977) mengatakan
bahwa ternak dengan bulu yang pendek dengan
warna terang serta memiliki tekstur kulit yang
halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk
mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi
matahari. Sapi FH memiliki warna kulit hitam
dan putih, umumnya warna putih lebih dominan
dari warna hitam atau sebaliknya. Dominannya
warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan
pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan
lebih kecil (warna putih menyerap 20%
pancaran radiasi sinar matahari, dan warna
hitam bisa mencapai 98%). Cekaman panas sapi
FH akibat radiasi matahari langsung
menyebabkan respon fisiologisnya lebih tinggi
dari sapi FH yang ternaungi (Tabel 4).
Kecepatan Angin
Angin dapat digunakan untuk mereduksi
cekaman panas pada ternak (Beede and Coolier,
1986). Penggunaan kipas angin berdiameter 1,2
m dan penyemprotan air 18 liter per ekor per
hari di Amerika dapat menurunkan temperatur
tubuh sapi FH sebesar 1,7oC dan meningkatkan
produksi susu sebesar 0,79 kg per hari (Wiersma
et al., 1984). Pemberian kecepatan angin
tertentu disertai dengan pengabutan melalui
sprinkler tiap 5 - 15 menit pada daerah panas
dapat meningkatkan kenyamanan sapi dan
mempermudah pemerahan (Chestnut &
Houston, 2002). Pemberian kecepatan angin
melalui terowongan angin yang dibuat dalam
kandang dapat menurunkan suhu (4,2oC) dan
Tabel 3. Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan sapi FH pada suhu berbeda
Sumber : McDowell (1972)
40
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Suhu
Parameter
18oC 30oC
Produksi susu (kg/hari) 18,4 15,7
Volume urine 11,2 12,8
Konsumsi air minum (kg/hari) 57,9 74,7
Konsumsi konsentrat (kg/hari) 9,7 9,2
Konsumsi hay (kg/hari) 5,8 4,5
Edisi April 2006
THI (6,0) serta meningkatkan RH (26%) dalam
kandang (Smith et al., 2005). Daerah Darmaga
Bogor dengan ketinggian 250 m di atas
permukaan laut memiliki kecepatan angin yang
berfluktuasi menurut waktu tergantung kondisi
iklim mikro dan makro. Rata-rata kecepatan
angin harian pada bulan April – Juni tahun 2000
di Darmaga dapat dilihat pada Gambar 4.
Jika dilihat dari fluktuasi kecepatan angin
pada gambar di atas, kecepatan angin meningkat
seiring dengan meningkatnya suhu udara dan
radiasi matahari. Sementara di sisi lain tubuh
sapi FH memerlukan kecepatan angin yang
lebih untuk mereduksi cekaman panasnya,
sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang
hari pada kondisi udara cerah tidak banyak
berpengaruh terhadap penurunan cekaman
panas tubuh sapi FH.
Penambahan kecepatan angin akan
membantu sapi FH menurunkan cekaman panas
pada saat malam hari karena pada malam hari
metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk
mempertahankan suhu tubuh (Lee & Keala,
2005). Penambahan kecepatan angin (1,125 m/
det) dapat mengoptimalkan kerja metabolisme
sapi FH sehingga ternak tersebut merasa
nyaman. Hadi (1995) menyampaikan hasil
pengamatan adanya perubahan suhu rektal, suhu
kulit, suhu tubuh dan frekuensi pernafasan pada
sapi FH akibat pemberian kecepatan angin
(1,125 m/det) yang dilakukan pada siang hari
(pukul 11.00 – 13.00 WIB) dan malam hari
(pukul 19.00–21.00 WIB) (Tabel 5).
Pengamatan dilakukan di Laboratorium
Lapangan Ilmu Produksi Ternak Perah IPB pada
Bulan Desember 1994 sampai Bulan Januari
1995 dengan suhu minimum dan maksimum
masing-masing 24,0oC dan 30,5oC, kelembaban
udara 61% - 84% dan kecepatan angin 0,0625
– 0,35 m/det. Sapi FH yang digunakan sebanyak
4 ekor dengan bobot badan 180 – 220 kg.
Hijauan diberikan sebanyak 10 kg/ekor/hari,
konsentrat diberikan sesuai bobot badannya
dengan pemberian pakan 2 kali sehari (pukul
08.00 dan 17.00 WIB) dan air minum ad libitum.
MODIFIKASI LINGKUNGAN TERNAK
UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS
Modifikasi lingkungan merupakan usaha
yang dilakukan oleh peternak dalam manajemen
ternak sapi FH untuk mengurangi cekaman
panas akibat suhu udara, kelembaban dan radiasi
matahari. Modifikasi lingkungan dapat
dilakukan melalui pemberian naungan,
penggunaan air minum dingin, penyemprotan
air ke tubuh ternak, pemberian kecepatan angin
tertentu kepada ternak, pemilihan bahan atap
kandang, penentuan ketinggian atap kandang
yang tepat.
Pemberian Air Minum Dingin
Konsumsi air minum sapi perah dewasa
pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 – 3,5
Tabel 4. Respon fisiologis sapi FH akibat radiasi matahari di Darmaga Bogor
Parameter Jemur Naungan
Repirasi (hit/menit) 147,00 68,00
Jantung (hit/menit) 91,00 76,00
Suhu rektal (oC) 40,48 38,82
Suhu kulit (oC) 39,68 37,13
Suhu tubuh (oC) 40,37 38,58
Sumber : Rizki (1996)
41
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
9.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Intensitas lama bernaung (menit)
Waktu pengamatan
Kecepatan angin (m/det)
9.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
Gambar 4. Rata-rata kecepatan angin harian bulan April – Juni tahun 2000 dan intensitas lama bernaung
sapi FH di Darmaga (Suwito, 2000)
Sumber : Hadi (1995)
42
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Tabel 5. Rataan suhu rektal (RT), suhu kulit (mTs), suhu tubuh (Tb) dan frekuensi pernafasan
(RR) sapi FH akibat pemberian kecepatan angin 1,125 m/det pada siang dan malam hari
di Darmaga Bogor
Waktu pemberian angin
Parameter
Siang hari Malam hari
Sebelum perlakuan
RT (oC) 39,05 ± 0,12 39,07 ± 0,11
mTs (oC) 35,64 ± 0,66 35,50 ± 0,43
Tb (oC) 38,57 ± 0,14 38,57 ± 0,14
RR (kali/menit) 40,00 ± 3,34 40,00 ± 5,36
Dua jam setelah perlakuan
RT (oC) 38,80 ± 0,12 38,60 ± 0,10
mTs (oC) 35,40 ± 1,03 35,58 ± 0,01
Tb (oC) 38,32 ± 0,29 38,18 ± 0,08
RR (kali/menit) 25,00 ± 11,50 22,00 ± 0,00
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
9.00~10.00 10.00~11.00 11.00~12.00 12.00~13.00 13.00~14.00 14.00~15.00 15.00~16.00
Kecepatan Angin (m/det)
0
10
20
30
40
50
9.00~10.00 10.00~11.00 11.00~12.00 12.00~13.00 13.00~14.00 14.00~15.00 15.00~16.00
Waktu Pengamatan
Intensitas Lama Bernaung (Menit)
Edisi April 2006
liter/kilogram konsumsi bahan kering (Tillman
et al., 1989) dan akan meningkat dalam kondisi
cekaman panas. Pada kondisi lingkungan tidak
nyaman dengan suhu lingkungan malam hari
sekitar 24oC dan siang hari 33,34oC, sapi dara
mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 –
12,76% dari bobot badan (Santoso, 1996).
Manfaat air minum dingin untuk mengatasi
cekaman panas pada sapi dara FH dapat dilihat
pada Tabel 6.
Milam et al. (1986) melaporkan bahwa
pemberian air minum dingin dapat
meningkatkan produksi susu sapi Holstein
sebesar 10,86% dari 22,1 pada air minum 28oC
menjadi 24,5 kg pada air minum 10oC. Wilks et
al. (1990) juga melaporkan terjadinya kenaikan
produksi susu sapi Holstein sebesar 4,85% dari
24,7 pada air minum 27oC menjadi 25,9 pada
air minum 10,6oC. Qisthon (1999) melaporkan
bahwa pemberian air minum pada suhu 10oC
dapat memperbaiki produktivitas sapi dara FH
melalui pertambahan bobot badan dan efisiensi
pakan, meningkatkan kecernaan bahan kering
dan bahan organik pakan dibandingkan dengan
pemberian air minum pada suhu 16, 22 dan 28oC.
Naungan
Pemberian naungan seperti kandang, dapat
mengurangi cekaman panas tubuh sapi FH
terutama pada siang hari. Total pengurangan
panas tubuh ternak dengan naungan dapat
mencapai 30-50% (Roman-Ponce et al., 1977).
Cara ternak sapi FH dalam mencari naungan
sangat tergantung dari iklim mikro seperti
radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan
kecepatan angin.
Pola intensitas lama bernaung sapi FH
meningkat dari pagi sampai siang hari (sampai
pukul 13.00) kemudian menurun kembali pada
sore harinya. Pola intensitas lama bernaung ratarata
untuk 3 (tiga) sapi dara FH dengan bobot
badan rata-rata 195 kg pada umur ± 18 bulan di
Darmaga dapat dilihat pada Gambar 4.
Lama bernaung sapi dipengaruhi oleh
suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan
angin. Semakin tinggi suhu udara lingkungan,
sapi akan bernaung lebih lama sebagai upaya
untuk mempertahankan panas tubuhnya agar
tidak naik akibat cekaman panas dari suhu
lingkungan. Semakin tinggi kelembaban udara
dan radiasi matahari di sekitar sapi maka sapi
akan bernaung lebih lama dengan intensitas
yang semakin rendah. Semakin tinggi kecepatan
angin maka sapi FH akan mengurangi intensitas
lama bernaungnya karena angin dapat
mereduksi panas tubuh sapi FH.
Pemilihan Bahan Atap Kandang
Semua bahan akan memantulkan,
meneruskan dan menyerap radiasi gelombang
Sumber : Purwanto et al. (1996)
Suhu air minum (oC)
Peubah
10 20 30
Suhu rektal (oC) 38,7 38,9 39,2
Suhu kulit (oC) 36,3 36,8 37,1
Suhu tubuh (oC) 38,4 38,7 38,9
Frekuensi pernafasan (kali/menit) 26,0 40,0 47,0
Frekuensi denyut jantung (kali/menit) 74,0 76,0 78,0
Tabel 6. Pengaruh pendinginan air minum pada respons fisiologis sapi dara Holstein pada suhu
lingkungan 34oC
43
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
pendek dan gelombang panjang dengan proporsi
yang berbeda-beda tergantung pada jenis
bahannya. Perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan suhu absolute bahan, sifat fisik dan
kimiawi bahan serta daya hantar energi panas
(bahang) dan panjang gelombang radiasi
matahari. Oleh karena itu bahan atap kandang
sapi FH yang dipilih adalah bahan-bahan yang
mampu memantulkan dan menyerap radiasi
sehingga dapat mengurangi penghantaran panas
ke dalam kandang.
Radiasi matahari yang diabsorbsi oleh
bahan akan diubah menjadi bahang, kemudian
dihantar ke bagian yang lebih dingin atau
dipancarkan kembali sebagai radiasi gelombang
panjang. Kemampuan menghantar bahang
(konduktivitas) masing-masing bahan dari yang
terendah sampai yang tinggi berturut-turut
adalah asbes, beton, baja, seng, alumunium
(Charles, 1981). Bahan yang tipis seperti
kebanyakan logam memiliki koefisien konduksi
yang besar, sehingga suhu di atas dan di bawah
hampir sama. Hahn (1985) menyatakan bahwa
bahan atap rumput kering atau jerami paling
efektif menahan radiasi matahari yang terpancar
langsung, sedangkan bahan padat seperti asbes,
besi berlapis seng atau alumunium kurang
efektif kecuali kalau dicat putih. Bahan lainnya
yang efektif menahan radiasi matahari adalah
alang-alang dan daun kelapa. Kedua bahan ini
memiliki nilai konduktivitas rendah. Rumbia
memiliki nilai konduktivitas 0.0001 kal/detoC.
Rendahnya nilai konduktivitas bahan atap
kandang menunjukkan rendahnya kemampuan
bahan dalam menghantarkan radiasi panas yang
diserapnya, sehingga sangat baik untuk
mengurangi jumlah radiasi yang sampai ke
ternak. Gatenby & Martawijaya (1986)
menyatakan, suhu di dalam kandang yang
atapnya terbuat dari asbes, seng dan rumbia
berturut-turut 26,5; 27,0 dan 26,4oC.
Respon fisiologis sapi perah FH sangat
baik terhadap bahan atap kandang rumbia
dibandingkan dengan genteng dan seng.
Respons fisiologis ini dapat dilihat dari suhu
tubuh, suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung
dan frekuensi nafas yang lebih rendah pada sapi
FH yang diberi atap rumbia dibandingkan
dengan yang diberi atap seng atau genteng
(Soemarto, 1995).
Penentuan Ketinggian Kandang
Selain memilih bahan atap yang
berkonduktivitas rendah, usaha lain yang
ditempuh untuk modifikasi lingkungan mikro
di dalam kandang adalah dengan memperbesar
ukuran kandang. Salah satunya adalah dengan
meninggikan atap kandang, sehingga volume
udara dan aliran udara yang masuk ke dalam
kandang menjadi lebih besar dan pergantian
udara lebih cepat sehingga suhu dalam kandang
menurun (Carpenter, 1981).
Daerah-daerah yang cerah dengan sinar
matahari penuh, tinggi atap kandang sebaiknya
antara 3,6 – 4,2 m, sedangkan daerah agak
berawan tinggi atap kandang antara 2,1 – 2,7
m. Ketinggian kandang tersebut cukup efektif
membatasi difusi radiasi matahari yang diterima
ternak di dalam kandang (Hahn, 1985).
Ketinggian atap kandang untuk daerah tropis
basah berkisar antara 2 – 3 m dan untuk daerah
beriklim panas kering antara 4–5 m (McDowell,
1972), serta antara 3 – 4 m untuk daerah semi
arid (Wiersma et al., 1984). Ketinggian atap
kandang sapi FH untuk daerah panas dengan
curah hujan sedang sampai curah hujan tinggi
adalah 175 cm yang diukur dari sisi atap
terendah ke lantai kandang (Sastry & Thomas
1980).
Perbedaan ketinggian atap kandang sangat
mempengaruhi respons fisiologis sapi perah dan
produksi susu yang dihasilkan. Respons
fisiologis yang berubah antara lain suhu kulit,
suhu rektal, suhu tubuh, frekuensi pernafasan
dan denyut jantung. Sedangkan respons
produksi yang berubah yaitu konsumsi makan
dan minum, serta pertambahan bobot badan
(Santoso, 1996). Ketinggian atap kandang yang
terbuat dari seng sebaiknya 3,5 m dari lantai
kandang (Basyarah, 1995).
44
YANI & PURWANTO Media Peternakan
Edisi April 2006
PENUTUP
Penampilan produksi ternak dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain faktor
keturunan (genetic), pakan, pengelolaan,
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan
penyakit serta faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang cukup dominan dalam
mempengaruhi produktivitas ternak adalah
iklim terutama iklim mikro yaitu suhu,
kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin.
Sapi perah FH sebagai sapi yang berasal dari
iklim sedang memerlukan suhu yang optimum
untuk mencapai produksi maksimalnya.
Jika sapi FH tersebut dipelihara di daerah tropis
seperti Darmaga Bogor, maka diperlukan
modifikasi lingkungan mikro yang baik untuk
dapat mereduksi cekaman panas agar
produktivitasnya tetap tinggi.
Modifikasi lingkungan mikro dapat
dilakukan dengan pemberian naungan dalam
bentuk atap kandang dengan ketinggian yang
tepat, pemberian shelter di sekitar bangunan
ternak, pemberian air minum dingin, pemberian
kecepatan angin dengan pemasangan kipas,
pengabutan melalui sprinkler di dalam kandang,
pemberian isulator di bagian atap kandang.
Modifikasi lingkungan mikro di atas
memerlukan biaya yang tidak murah sehingga
memerlukan alternatif modifikasi lingkungan
dengan cara penggunaan bahan kandang (atap,
dinding, tiang) dan teknologi yang lebih murah.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. E. 1983. Temperature Regulation and
Environmental Physiology. In: Dukes’
Physiology of Domestic Animal. 10th ed. M.
J. Swenson (Ed). Cornell Univ. Press. P. 719-
726.
Basyarah, W. 1995. Pengaruh Ketinggian Naungan
dari Bahan Seng terhadap Respons
Termoregulasi Sapi Fries Holland Dara.
Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Beede, D.K. &. R.J. Coolier. 1986. Potential
nutricions for intensive managed cattle during
thermal stress. J. Anim Sci. 62: 543.
Berman, A. 2005. Estimates of heat stress relief needs
for Holstein dairy cows. J.Anim Sci. Vol 83 :
1377 – 1384. http://jas.fass.org/cgi/content/
abstract/83/6/1377. [24 Oktober 2005]
Blaxter, K. 1989. Energy Metabolism in Animal and
Man. Cambridge Univ. Press., New York.
Carpenter, G. A. 1981. Ventilation System. In:
Environmental Aspect of Housing for Animal
Production. J.A. Clark (Ed). Butterwoths,
London.p.331-350.
Charles, D.R. 1981. Practical Ventilation and
Temperature Control for Poultry. In: J.A. Clark
(Ed). Environmental Aspects of Housing for
Animal Production. Butterworths, London. P.
163 – 196.
Chestnut, A. & D. Houston. 2002. Heat Stress and
Cooling Cows. http://www.vigortone.com/
heat_stress.htm [ 21 Oktober 2005 ].
Combs, D. 1996. Drinking water requirement for heat
stressed dairy cattle. Univ. of Wisconsin Dairy
Profit Report Vol 8. No.3 http://www.wise.edu/
dairy-profit/dpr/dpr83.pdf. [21 Oktober
2005].
Curtis, S.E. 1983. Environmental Management In
Animal Agricultural. The Iowa State University
Press., Ames, Iowa.
Ensminger, M.E. 1971. Dairy Cattle Science. The
Interstate Printers and Publisher. Inc. Danville,
Illinois.
Esmay, M. L. 1982. Principle of Animal
environmental. AVI Publishing Company, Inc.
Wesport, Connecticut.
Gatenby, R.M. & M. Martawidjaja. 1986.
Comparison of the Thermal Budgets of Five
Different Roof of Animal House. Applied
Agric. Res. Project and Res. Institut for Animal
Production, Bogor, Indonesia.
Hadi, J.S. 1995. Pengaruh Kecepatan Angin terhadap
Respons Termoregulasi Sapi Fries Holland
Dara. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Hahn, G.L. 1985. Management and Housing of Farm
Animal in Hot Environment. In : Stress
Physiology of Livestock. Vol. 1. M.K. Yousef
(Ed). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.
159-168.
Ingram, D.L. & M.J. Dauncey. 1985.
Thermoregulatory Behavior. In: Stress
Physiology of Livestock. Vol. 1. Yousef (Ed),.
CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.98-107.
Jones, G.M. & C.C. Stallings. 1999. Reducing heat
stress for dairy cattle. Virginia Cooperative
Extension. Publication Number 404-200. http:/
/www.ext.vt.edu/index.html. [21 Oktober
2005].
45
Vol. 29 No. 1 PENGARUH IKLIM MIKRO
Edisi April 2006
Kibler, H.H. 1962. Energy metabolism and related
thermoregulatory reactions to thermal stress
in 10OC and 27OC acclimated heifers. Res.
Bull.739. Univ.of Missouri, Columbia. P.1-32.
Lee, C.N. & N. Keala. 2005. Evaluation of cooling
system to improve lactating Holstein cows
comfort in the sub-tropics. http://
www.fass.org. [1 Maret 2006].
McDowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock
Production in Warm Climate. W.H. Freeman
and Co., San Frascisco.p.1-128.
McDowell, R.E. 1974. The Environment Versus
Man and His Animals. In: H.H. Cole & M.
Ronning (Eds.). Animal Agriculture. W.H.
Freeman and Co., San Fransisco.
Milam, K.Z., C.E.Coppock, J.W.West, J.K.
Lanham, D.H. Nave, J.M. Labore, R.A.
Stermer & C.F.Brasington. 1986. Effect of
drinking water temperature on production
responses in lactacing cows in summer. J.Dairy
Sci. 69:1012 -1019.
Prayitno, H. 1999. Respons Termoregulasi Sapi
Peranakan Fries Holland pada Berbagai
Kondisi Lingkungan Mikro. Skripsi. Fakultas
Peternakan, IPB, Bogor.
Purwanto, B.P. 1993. Heat and Energy Balance in
Dairy Cattle Under High Environmental
Temperatute. Doctoral Thesis, Hiroshima
University.
Purwanto, B.P., M. Harada & S. Yamamoto. 1996.
Effect of drinking water temperature on heat
balance and thermoregulatory responses in
dairy heifers. Aust. J. Agric. Res. 47:505-12.
Qisthon, A. 1999. Respons Fisiologis dan
Produktivitas Sapi Dara Pernakan Fries
Holland pada Pemberian Air Minum dengan
Suhu yang Berbeda. Thesis. Program
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Rizki.1996. Pengukuran Beban Panas Akibat Radiasi
Matahari pada Sapi Perah Holstein Dara.
Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Roman-Ponce, H., W.H. Thatcher, D.E.
Buffington, C.J. Wilcox & H.H. Van Horn.
1977. Physiological and production responses
of dairy cattle to shade structure in subtropical
environmental. J. Dairy Sci. 60: 424-430.
Santoso, A.B. 1996. Pengaruh Lingkungan Mikro
terhadap Respons Fisioologi Sapi Dara
Peranakan Fries Holland. Thesis. Program
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Sastry, N.S.R. & C.K.Thomas. 1980. Farm Animal
Management. Vikas Publishing House PVT,
LTD., New Delhi.
Shibata, M. 1996. Factors affecting thermal balance
and production of ruminants in a hot
environment. A Review. Mem.Nat.Inst. Anim.
Ind. No. 10 National Institute of Animal
Industri Tsukuba, Japan.
Smith, J.F., D.V. Armstrong, M.J. Brouk,
Wuthironarith & J.P. Harner. 2005. Impact
of using feedline soakers in combinations with
tunnel ventilation and evaporative pads to
minimize heat stress in lactation dairy cows
located in Thailand. http://www.fass.org. [1
Maret 2006].
Soemarto, F. 1995. Pengaruh Berbagai Ketinggian
Bahan Atap Kandang terhadap Respons
Termoregulasi Sapi Dara Peranakan Fries
Holland. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB,
Bogor.
Suwito, E. 2000. Hubungan antara Lingkungan
Mikro dengan Lama Bernaung dalam Kandang
pada Sapi Dara Peranakan Fries Holland.
Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Thwaites, C.J. 1985. Physiological Responses and
Productivity in Sheep. In : M.K. Yousef (Ed.).
Stress Physiology in Livestock Vol. II:
Ungulates. CRC Press Inc. Boca Raton,
Florida.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,
S. Prawirakusumo & S. Lebdosoekotjo.
1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah
Mada University Press. Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Trewartha, G.T. 1954. An Introduction to Climate.
Mc Graw-Hill. Book Co Inc., New York.
Wierema, F. In: Chestnut, A. & D. Houston. 2002.
Heat Stress and Cooling Cows. http://
www.vigortone.com/heat_stress.htm [21
Oktober 2005].
Wiersma, F., D.V. Armstrong, W.T. Welchert &
D.G. Lough. 1984. Housing system for dairy
production under warm weather condition.
World Animal Review, 50:16-23.
Wilks, D.L., C.E. Coppock, J.K. Lanham,
K.N.Brooks, C.C. Baker, W. L. Bryson, R.G.
Elmpre & R.A. Stermer. 1990. Responses of
lactacing Holstein cows to chilled drinking
water in high ambient temperatures. J.Dairy
Sci. 73:1091 -1099.
Yeates, N.T.M. 1977. The coat and heat retention in
cattle: Studies in the tropical maritime climate
of Fiji. J. Agric Sci. (Camb). 88:223-226.
Yousef, M.K. 1985. Thermoneutral Zone. In: M.K.
Yousef (Ed.). Stress Physiology of Livestock.
Vol.II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
P.68-69.
46
YANI & PURWANTO Media Peternakan

sumber : Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 Vol. 29 No. 1
ISSN 0126-0472